Authentication
482x Tipe DOCX Ukuran file 0.02 MB Source: daudp65.webs.com
Alur Perjalanan Kritik Sastra Indonesia
Maman S. Mahayana
ada pertengahan sampai akhir dasawarsa 1980-an, pernah ramai
dibincangkan kemungkinan dilahirkannya kritik sastra Indonesia yang
khas bercirikan keindonesiaan. Beberapa istilah pun kemudian
Pbermunculan. Satyagraha Hoerip, misalnya, melontarkan gagasannya
dengan mengusung istilah Teori dan Kritik Sastra PDN (produksi dalam negeri).
Yang lain menyebutnya dengan teori dan kritik sastra yang khas Indonesia.
Apapun istilahnya, dasar pemikiran yang dikedepankan dalam perbincangan itu
menyangkut perlunya dirumuskan teori dan kritik sastra yang tak lagi berkiblat ke
Barat. Sejak diselenggarakannya serangkaian diskusi kritik sastra awal Orde Baru,
yang ekornya melahirkan dua aliran kritik sastra, yaitu kritik akademis (Aliran
Rawamangun) dan kritik dengan metode Ganzheit, ada kecenderungan kuatnya
pengaruh kritik akademis dalam peta kesusastraan kita. Pengaruhnya itu mengakar
di berbagai institusi sastra di Indonesia.
Di dalam perkembangannya kemudian, kritik akademis ini terkesan asyik-masyuk
sendiri. Ia cuma milik kalangan akademi dan tak laku dijual untuk komunitas
kesusastraan Indonesia secara keseluruhan. Tambahan lagi, analisis yang
diperlihatkan kritik akademis, dipandang terlalu kering-kaku dan sangat njlimet.
Akibatnya terjadi tulalit antara kritikus (akademi) dan sastrawan. Kaum akademi
menempatkan metode ilmiah dengan berbagai teori Barat sebagai “satu” cara
analisis yang andal dan teruji. Langkah ini membuka lebar jalan menuju
berkembangnya ilmu sastra. Sementara, kebanyakan sastrawan melihat cara itu
terlalu anatomistik; sastra diperlakukan sebagai mayat tak berjiwa. Anggapan ini
pun berkembang menjadi sikap apriori pada institusi sastra berikut kemuakannya
atas teori sastra Barat. Masalah inilah yang menjadi salah satu faktor pemicu
menggelindingnya isu perlunya merumuskan teori dan kritik sastra khas Indonesia.
***
Jika ditarik ke belakang, sesungguhnya tradisi kritik sastra Indonesia relatif belum
bersejarah panjang. Meski begitu, praktiknya justru terjadi sejak awal abad ke-20,
seperti dapat kita lihat di media massa yang terbit dekade itu. Periksa saja
komentar Tirto Adhi Soerjo mengenai cerita-cerita yang dimuat Medan Prijaji
(1907-1912) atau Poetri Hindia (1908-1911). Majalah Pandji Poestaka, bahkan
menyediakan rubrik “Memadjoekan Kesoesasteraan” yang diasuh Sutan Takdir
Alisjahbana. Dalam edisi 5 Juli 1932, muncul artikel berjudul “Kritik
Kesoesasteraan”. Dapat dikatakan, artikel ini yang pertama secara eksplisit
mencantumkan kata “kritik kesusastraan” dalam kritik sastra Indonesia. Dalam
Pandji Poestaka edisi November 1932 — Maret 1933, dimuat pula berturut-turut
tulisan Alisjahbana, “Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe” yang secara teoretis
menolak style dan bahasa klise dalam sastra tradisional sambil mengajukan ciri-ciri
sastra Indonesia modern.
Dalam majalah Poedjangga Baroe (1933) berbagai tulisan tentang sastra, lebih
beragam dan mendalam, termasuk uraian konsepsi teoretis sastra dalam kaitannya
dengan estetika, seni, dan kebudayaan Indonesia. Cermati tulisan Alisjahbana
“Menoedjoe Seni Baroe” (Juli, 1933) dan “Poeisi Indonesia Zaman Baroe” (I-VI:
September 1934-Februari 1935), Armijn Pane “Kesoesasteraan Baroe” (I-IV: Juli-
Oktober 1933), Hoesein Djajadiningrat “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib” (I-V:
November 1933-Maret 1934) dan Amir Hamzah “Kesoesasteraan” (I-IV: Juni
1933-September 1934) dan “Pantoen” (Maret 1934). Secara mendalam, mereka
mencoba merumuskan konsep dan estetika tradisional dan modern, sastra
Indonesia. Ada dua arus pemikiran mengenai rumusan mereka: (1) konsep dan
estetika sastra Indonesia menurut pemikiran Barat yang diangkat Alisjahbana, (2)
konsep dan estetika sastra Indonesia menurut kultur Timur (termasuk Indonesia)
yang dikedepankan Djajadiningrat dan Amir Hamzah.
Majalah terbitan Medan (1937), Pedoman Masjarakat, juga memuat ulasan dan
resensi, meski masih dalam bentuk yang ringkas. Satu hal penting dari berbagai
tulisan dalam majalah ini adalah munculnya semacam gerakan sastra di luar Balai
Pustaka yang tidak mengikuti mainstream Poedjangga Baroe. Medan lalu menjadi
salah satu pusat penerbitan novel seperti itu. Karena memakai kertas berkualitas
rendah dengan format sederhana, harga jualnya jadi begitu murah. Dari sanalah
lahir istilah roman picisan yang merujuk pada uang sepicis, sebagaimana yang
diperkenalkan Dr. R. Roolvink (1952).
Pada zaman Jepang, pembicaraan mengenai konsep sastra cenderung terfokus pada
fungsi sastra, tugas sastrawan, dan penolakan konsep seni untuk seni. Masalahnya
berkaitan dengan kepentingan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Fungsi
sastra dimanfaatkan untuk propaganda, dan tugas seniman memberi penyadaran
akan semangat cinta tanah air, kerelaan berkorban, dan keberanian menghadapi
perang. Majalah Djawa Baroe, harian Asia Raja, dan jurnal Keboedajaan Timoer –
sekadar menyebut beberapa– adalah media massa waktu itu yang dijadikan corong
Pemerintah Pendudukan Jepang.
Awal merdeka, kita melihat perdebatan seru mengenai konsep estetik Angkatan 45
berikut gagasan humanisme universal. Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan
representasi dari elan dan semangat Angkatan itu atas gerak dan kesadaran
membangun dan mengisi kebudayaan Indonesia di masa mendatang. Masalah
angkatan dan konsep kesusastraan, juga menjadi polemik hangat waktu itu.
Di tengah terjadinya polemik itu, Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) lahir dan
mengusung humanisme proletariat lewat realisme sosialis dan konsep seni untuk
rakyat. Pada dekade itu Jassin menerbitkan sejumlah bukunya yang berisi berbagai
artikel yang pernah dimuat media massa. Inilah yang mengawali buku kritik sastra
Indonesia. Teeuw juga mempublikasikan buku kritiknya, Pokok dan Tokoh (1952),
meski isinya lebih dekat pada sejarah sastra Indonesia. Pada dasawarsa itu, terjadi
perseteruan para pendukung gagasan humanisme universal dengan Lekra.
Puncaknya jatuh pada Manifes Kebudayaan, 19 Oktober 1963 yang kemudian
dibekukan Presiden Soekarno, 8 Mei 1964.
Memasuki zaman Orba, masalah konsep dan operasionalisasi kritik sastra lebih
tegas dirumuskan dalam Simposium Bahasa dan Kesusastraan Indonesia (27
Oktober 1966), Peringatan Penyair Chairil Anwar (30 April 1967), dan Diskusi
Kritik Sastra (31 Oktober 1968). Lahir dua arus pemikiran yang bermuara pada
Aliran Rawamangun dan metode Ganzheit. Sejak itu, kritik sastra menjadi bagian
penting dalam kurikulum institusi pendidikan sastra. Kritik sastra kemudian
menjadi salah satu mata kuliah dalam kurikulum nasional dan diberlakukan di
semua institusi pendidikan sastra. Di dalamnya termuat pula telaah atau kajian
sastra yang tak lain adalah kritik sastra. Itulah perjalanan kritik sastra menjadi
bagian penting –seperti juga mata kuliah telaah lainnya– dalam dunia akademik.
Tak dapat dinafikan sumbangan Aliran Rawamangun bagi institusi sastra di negeri
ini. Penelitian yang dihasilkan para pendukungnya, seperti M.S. Hutagalung, Boen
S. Oemarjati, J.U. Nasution, Lukman Ali, kerap menjadi acuan, bagaimana
operasionalisasi kritik akademis dilakukan. Bahkan, disertasi Oemarjati, “Chairil
Anwar: The Poet and His Language” (Den Haag, 1972) menjadi rujukan penting
bagi peneliti Barat yang hendak “memahami” Chairil Anwar.
Sampai pertengahan dasawarsa 1980-an, berbagai macam buku kritik sastra, terus
bermunculan. Yang berupa kritik teoretis dapat disebutkan beberapa di antaranya,
karya Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra
Indonesia Modern (1988), antologi artikel yang dihimpun Ariel Heryanto,
Perdebatan Sastra Kontekstual (1985) atau kumpulan makalah yang disusun
Mursal Esten, Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan (1988).
Yang berupa kritik terapan, secara kuantitatif lebih banyak lagi. Beberapa di
antaranya, Novel Baru Iwan Simatupang (1980) karya Dami N. Toda, Sastra dan
Religiositas (1982) karya Y.B. Mangunwijaya, Dialog antara Dunia Nyata dan
tidak Nyata (1989) karya Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Menelusuri Makna Ziarah
karya Iwan Simatupang (1990) karya Okke K.S. Zaimar.
Terbitnya buku yang membincangkan kritik teoretis dan kritik terapan yang
beraneka macam itu memperlihatkan betapa semarak kehidupan kritik sastra
Indonesia. Lalu bagaimana sesungguhnya peta kritik sastra Indonesia, baik yang
dihasilkan kaum akademis, sastrawan, maupun sastrawan yang sekaligus juga
kaum akademis. Dalam hal ini, kerja keras Rachmat Djoko Pradopo merupakan
tonggak penting dalam usahanya menginventarisasi, mengklasifikasi, serta
memetakan panorama kritik sastra Indonesia.
Dalam disertasi Rachmat Djoko Pradopo “Kritik Sastra Indonesia Modern: Telaah
dalam Bidang Kritik Teoretis dan Kritik Terapan” (1989) yang hampir setebal
bantal (949 halaman) itu, dideskripsikan dan sekalian dianalisis secara mendalam
dan luas berbagai jenis kritik sastra Indonesia sejak periode Balai Pustaka sampai
penolakan teori kritik sastra khas Indonesia akhir dekade tahun 1980-an. Inilah
penelitian yang sangat komprehensif mengenai panorama dan berbagai alur
pemikiran dalam kritik sastra Indonesia. Boleh jadi lantaran ketebalannya itu,
hingga kini belum ada penerbit yang berani menerbitkan disertasi itu secara utuh.
Memasuki dasawarsa akhir abad ke-20, penerbitan karya para peneliti masih terus
berlangsung. Bahkan, belakangan ini, sejumlah penerbit melakukan semacam
“perburuan” naskah hasil penelitian kaum akademis. Jadi, jika faktanya begitu,
adakah alasan lain yang memaksa kita bersikap pesimistis dan mengatakan: “Krisis
kritik sastra Indonesia?”
***
Bersamaan dengan pudarnya pengaruh Aliran Rawamangun, di berbagai institusi
sastra mulai gencar dipelajari macam-macam teori kritik mutakhir. Praktik kritik
sastra tidak lagi terpaku pada pendekatan struktural, baik yang mengacu pada
gagasan Roland Barthes, maupun Kritik Baru (New Criticism) Amerika.
Kejenuhan terhadap pendekatan ini, secara langsung telah membuka peluang
penerapan berbagai macam jenis kritik.. Yang kini hangat, selain psikologi dan
sosilogi sastra, juga kritik feminis, kajian budaya (cultural studies), dan New
Historicism: sebuah gerakan kesadaran sejarah baru sebagai reaksi atas New
Criticism– dalam kritik sastra yang coba memanfaatkan berbagai macam aliran,
mazhab dan teori. Belakangan, masuk pula pemikiran multikulturalisme. Di luar
itu, penggalian terhadap sumber-sumber kritik sastra Timur, juga terus dilakukan.
Disertasi Bambang Wibawarta, “Modernisasi Jepang dalam Karya-Karya Mori
no reviews yet
Please Login to review.