Authentication
537x Tipe PDF Ukuran file 0.10 MB Source: pintar.jatengprov.go.id
TEMA: PENDIDIKAN
Standar Kompetenasi: 16. Mengungkapkan pendapat dalam bentuk kritik dan esai.
Kompetensi Darar : 16.1 Memahami prinsip-prinsip penulisan kritik dan esai.
16.2 Menerapkan prinsip-prinsip penulisan kritik dan esai
untuk mengomentari karya sastra.
A. Kritik
Kritik adalah analisis untuk menilai sesuatu karya seni, dalam hal ini karya
sastra. Kritik merupakan bagian dari cabang ilmu sastra. Kritik sastra menganalisis
teks karya sastra itu sendiri. Kritik dapat diterapkan pada semua bentuk karya sastra,
baik yang berupa puisi, prosa, maupun drama. Kritik biasanya diakhiri dengan
kesimpulan analisis. Tujuan kritik bukan hanya menunjukkan keunggulan,
kelemahan, kebenaran, dan kesalahan sebuah karya sastra berdasarkan sudut tertentu,
tetapi tujuan akhir sebuah kritik adalah mendorong sastrawan untuk mencapai
penciptaan sastra tertinggi dan untuk mengapresiasi karya sastra secara lebih baik.
(Sumardjo dan Saini K.M., 1986: 21).
1. Ciri-ciri kritik sastra
a. bertujuan menilai karya sastra;
b. penilaian didasarkan pada kriteria tertentu;
c. mengungkapkan kelebihan dan kekurangan karya sastra
yang dikritik;
d. ada kesimpulan penilaian kritikus terhadap karya sastra
yang dikritik.
2. Prinsip-prinsip penulisan kritik
a. penulis harus secara terbuka mengemukakan dari sisi mana
ia menilai karya sastra tersebut;
b. penulis harus objektif dalam menilai;
c. penulis harus menyertakan bukti dari teks yang dikritiknya.
Contoh kritik sastra:
Kepahitan Arumanis
oleh Jakob Sumardjo
Muh. Rustandi Kartakusuma jarang sekali menulis cerita pendek. Cerpen yang
akan diulas di sini berasal dari buku peringatan 70 tahun Sutan Takdir Alisjahbana
yang diberi judul Pelangi (1979). Dalam buku tersebut, Rustandi menulis cerpen
yang diberinya judul "Mangga Arumanis". Sastrawan ini dikenal sebagai penyair,
penulis drama, dan cerita untuk anak-anak. Sebuah novelnya yang berjudul Tanah,
Langit dan Cinta pernah dimuat secara bersambung dalam harian Pikiran Rakyat,
Bandung, pada tahun 1985, Selain itu, ia juga menulis novel dan cerita pendek dalam
bahasa Sunda.
Cerpen yang akan kita baca ini menunjukkan sikap lembut, penuh kasih sayang,
tetapi kuat dalam moralitas. Di sini sikap "ketimuran" muncul, yakni solidaritas
kekeluargaan. Satu untuk semua, semua untuk satu. Gambaran keluarga sederhana
yang menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran, ketulusan, dan keagamaan, dihadirkan
dengan cara yang amat menyentuh. Keluarga Hendra seperti yang ditampilkan dalam
cerpen ini sangat kita kenal dalam keluarga umumnya di kota-kota Indonesia.
Kekuatan cerpen Rustandi Kartakusuma ini terletak dalam pemasangan kontras.
Hendra, pegawai yang jujur, taat beribadah, penuh kasih sayang kepada keluarganya,
adalah pegawai dengan gajinya amat paspasan, sehingga terasa berat untuk dapat
membelikan oleh-oleh mangga untuk anak-anak dan istrinya. Hendra hanya mampu
membeli dua buah mangga. Dua buah mangga ini dinikmati oleh seluruh keluarga
karena merupakan buah kasih sayang dan pengorbanan.
Kontras yang dimunculkan pengarang adalah ketika Pimpinan kantor Hendra,
Zulkifli, mencoba menyuap" Hendra dengan sepuluh buah mangga yang diidam-
idamkan oleh keluarga Hendra. Dengan pemberian itu Hendra dibujuk untuk mau
memberikan tanda tangannya yang akan memberikan keuntungan pada Zulkifli dan
Hendra sendiri. Penyelesaian kontras ini adalah, bahwa keluarga Hendra kompak
untuk tidak menerima sekeranjang mangga Arumanis dengan cara yang tidak hal-haI
itu. Keinginan keluarga untuk dapat menikmati lezatnya mangga Arumanis sepuas-
puasnya sirna karena mangga-mangga itu mereka terima dengan cara yang tidak
mereka kehendaki. Lezatnya mangga Arumanis lenyap, bahkan keinginan untuk
menikmati mangga tersebut juga lenyap. Di sini terlihat bahwa landasan moral
keluarga sangat kuat. Mangga-mangga itu mereka berikan kepada gelandangan yang
tidak tahu menahu asal-usul mangga-mangga tersebut.
Apakah sebenarnya, kebahagiaan dan kesenangan itu? Makan enak, bertamasya,
dan pakaian bagus, barangkali dapat mendatangkan kesenangan bagi setiap orang.
Akan tetapi, cerpen ini menunjukkan bahwa benda dan peristiwa itu sendiri bukan
sumber kesenangan dan kebahagiaan. Makanan enak, dalam hal ini buah mangga
Arumanis, tidak dengan sendirinya "enak" bagi setiap orang. Nilai buah mangga yang
harum dan manis itu bukan terletak pada buahnya, melainkan pada manusia yang
memakannya. Buah mangga yang harum dan manis dapat menyenangkan bagi
seorang, tetapi juga tidak menyenangkan bagi yang lain.
Kebahagiaan dan kesenangan itu adalah nilai. Nilai itu baru muncul ketika
terjadi pertemuan antara subjek dan objek. Dalam hal ini, terjadi antara pemakan
mangga dan mangga. Namun, karena mangga itu bukan subjek, semata-mata objek
yang menentukan nilai itu adalah subjek, yaitu manusia itu sendiri. Keluarga Hendra
merupakan subjek dengan tata nilai tertentu. Keluarga itu sangat kompak dalam
menganut suatu tata nilai, yakni gagasan moral yang ideal–rasional. Mereka
berprinsip mencuri itu tidak baik. Selain itu, mereka berpegang pada keyakinan
bahwa tidak jujur itu tidak baik. begitu pula tindakan menyuap itu tidak baik. Bahkan,
korupsi itu tidak baik.
Bagaimana keluarga Hendra dapat sekompak itu dalam menganut suatu nilai?
Dalam cerpen ini tidak dijelaskan. Kita hanya mengetahui bahwa ada saling
pengertian yang mendalam antara Hendra, istrinya, dan anak-anaknya. Mangga
Arumanis yang baru saja mereka nikmati, meskipun secara terbatas akibat
kemiskinan mereka, tiba-tiba menjadi tidak Arumanis dan lezat lagi bagi keluarga itu
karena moralitas mereka terguncang dalam kepahitan, akibat upaya penyuapan.
Dengan getir, mereka membagikan buah-buah itu kepada para gelandangan yang
tidak tahu menahu asal usulnya. Buah yang manis menjadi tidak manis lagi akibat
kepahitan moral yang menimpa keluarga Hendra. Cerpen ini sederhana, jelas alurnya,
konkret penggambarannya, dengan suasana cerita yang terbangun secara manis dan
lembut. Peristiwanya digambarkanb dengan jelas dan pesan moralnya.
Namun, sebuah karya sastra yang berhasil bukan hanya itu, sebuah karya sastra
berhasil karena ia memiliki kualitas simbol pula. Judul "Mangga Arumanis" sendiri.
Mangga Arumanis disebut demikian kalau segalanya berjalan normal. Akan tetapi,
menjadi tidak Arumanis sama sekali kalau sesuatu yang tidak normal terjadi, yakni
upaya penyuapan oleh Zulkifli. Arumanis, kebahagiaan, kebenaran, akan tetap
demikian jika moral atau iman tetap menjadi pegangan hidup. Dalam hal ini, tanpa
moral dan iman, Arumanis menjadi tidak manis, tidak membahagiakan, dan tidak
benar. Hidup manusia ini akan tenang dan bahagia, meskipun dalam kekurangan dan
kemiskinan, asal moral dan iman tetap terjaga. Hidup manusia ini tidak akan tenang,
bahagia, jika kekayaan mereka diperoleh dari kecurangan dan korupsi. Ada kontras
nilai. Miskin dan jujur membahagiakan, dalam arti menjalani hidup ini dengan
tentram dan tenang. Kaya dan tidak jujur dapat menyebabkan mangga Arumanis tidak
bernilai sama sekali. Inilah kritik halus Rustandi terhadap hidup masyarakat kota di
zamannya, tahun 1970-an. Inilah zaman memuncaknya masa Orde Baru.
Penyelewengan kekuasaan, korupsi, merosotnya moralitas, menyebabkan munculnya
banyak pejabat yang kaya mendadak. Jurang kemakmuran antara pejabat yang jujur
dan yang "ikut arus" semakin menganga. Pejabat yang jujur tetap miskin, sedang
yang tidak jujur "dapat punya otot", "punya bungalow di Lembang", bahkan "dapat
punya bini muda".
Kondisi masyarakat di sekitar pengarang terbagi dua, mereka yang hidup otentik
akan tetap miskin, mereka yang hidup penuh kepalsuan dapat cepat kaya. Keluarga
Hendra bertolak belakang dengan kehidupan keluarga Zulkifli dan Bakhrum. Hendra
hanya mampu membeli dua buah mangga dengan mengorbankan uang rokoknya hari
itu. Sementara Zulkifli mampu membelikan oleh-oleh (suapan) sekeranjang mangga
dengan sisa-sisa uang korupsinya. Hidup otentik Hendra dan hidup tidak otentik
Zulkifli dan teman-temannya, dengan agak sinis digambarkan pengarang melalui
kemesraan antara Hendra dan isterinya, Yanti. Kebahagiaan pasangan suami isteri
yang otentik, bermoral, beriman dan sesuai hati nurani ini, digambarkan dengan
saling memeluk. Dalam film-film Indonesia, adegan demikian tentu akan disertai
ucapan "I love you", seperti layaknya film-film Amerika murahan. Di sini sikap
"ketimuran" Rustandi dicoba dimunculkan, dengan mengejek perilaku "barat" yang
serba fisikal, materialistik, dan hedonistik. Mangga Arumanis adalah simbol Rustandi
untuk menyatakan kehidupan (keluarga) masyarakat dan bangsa yang otentik, jujur,
sesuai tuntutan hati nurani, bermoral dan teguh iman.
Mangga Arumanis juga berarti pengorbanan kepentingan diri sendiri. Meskipun
sebuah keluarga, sebuah masyarakat atau sebuah bangsa itu miskin, asal hidup
bermoral dan beriman, akan menjadikan hidup ini akan menjadi manis dijalani dan
dinikmat dihayati. Kekayaan itu baru berharga, baru manis, kalau diperoleh pula
secara otentik, jujur, bermoral, dan beriman. Tokoh Hendra adalah pahlawan bagi
pengarangnya, Rustandi Kartakusuma. Pahlawan itu dengan gagah berani
menyumbangkan buah-buah mangga yang tidak halal itu kepada mereka yang
membutuhkan makanan. Hanya dengan berbuat demikian, ia dapat kembali
bermesraan dengan isterinya, Yanti. Meskipun Yanti berasal dari keluarga kaya, ia
mau hidup dalam kemiskinan mendampingi Pahlawannya, Hendra, yang bersikukuh
mempertahankan sikap bermoral dan beriman, penuh pengorbanan, dan pengabdian
kepada sesama.
Sumber: Majalah Horison, 2004
(dengan perubahan)
B. Esai
Esai adalah karangan pendek suatu fakta yang dikupas menurut pandangan
pribadi penulisnya. Pikiran, perasaan dan keseluruhan pribadi penulisnya tergambar
jelas dalam esai. Dalam esai unsur pemikiran lebih menonjol dibanding unsur
perasaan. Esai yang baik adalah esai yang terorganisir secara rapi dan baik sehingga
mudah dan enak dibaca. Ada tiga bagian dalam menulis esai, 1) bagian pengantar
atau pembuka, 2) bagian isi, 3) bagian penutup. esai sastra merupakan pandangan
atau pendapat pribadi penulisnya mengenai suatu masalah kesastraan.
1. Ciri-ciri esai
a. ada ide-ide penulisnya;
b. ide yang dituangkan didukung oleh data;
c. penulisan esai mengemukakan masalah yang luas;
d. metode yang digunakan adalah pendekatan ilmiah.
2. Prinsip-prinsip penulisan esai
a. penulis dapat memilih topik yang akan dibahas;
b. pengungkapan pendapat harus didukung oleh data ilmiah;
no reviews yet
Please Login to review.