Authentication
209x Tipe DOCX Ukuran file 0.02 MB
1. Penggunaan KekuatanDalam tulisan ini lebih merujuk pada berbagai karya yang telah membahas istilah “penggunaan kekuatan” dan istilah-istilah yang digunakan di dalam Pasal 2, ayat 4 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen penting lainnya/. Penggunaan kekuatan ini tersirat di dalam istilah “perang agresi”, “invasi”, “penyerangan”. Meski pun istilah “penggunaan kekuatan” dan sering digunakan oleh berbagai kalangan penulis, tapi istilah ini belum menjadi subyek pembahasan yang detil. Sudah dapat dipastikan bahwa “penggunaan kekuatan” lazim difahami sebagai mengandung implikasi adanya sesuatu serangan militer, suatu “serangan bersenjata:, oleh militer terorganisasikan, angkatan laut, atau angkatan udara dari sebuah negara; tapi konsep ini di dalam praktik dan prinsipnya memiliki signifikansi yang lebih luas lagi. Lembaga terkait tidak bisa hanya terbatas kepada kekuatan-kekuatan militer atau kekuatan-kekuatan lainnya yang berada di bawah kendali kementerian pertahanan atau Panglima Militer saja, karena tanggung jawab yang akan timbul sama saja jika ada pemerintah yang bertindak melalui “milisia”, “kekuatan-kekuatan keamanan” atau “angkatan kepolisian” yang bisa saja dipersenjatai dengan cukup berat dan bisa saja menggunakan kendaraan- kendaraan dengan persenjataan berat. Selanjutnya, pemerintah-pemerintah pun bisa bertindak dengan memanfaatkan agen-agen yang sepenuhnya “tidak resmi”, termasuk gerombolan- gerombolan bersenjata, dan “sukarelawan”, atau bisa saja membantu kelompok-kelompok pemberontak di wilayah negara lainnya. Kelsen pernah menyatakan bahwa “penggunaan kekuatan ” pada Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB ini bisa mencakup baik penggunaan senjata maupun pelanggaran atas hukum internasional yang melibatkan dikerahkannya kekuasaan di wilayah teritorialnya tetapi tanpa melibatkan penggunaan senjata sama sekali. Piagam ini tidak menunjukkan bahwa frase ini hanya berlaku bagi angkatan-angkatan bersenjata, tetapi juga tidak ada bukti baik di dalam berbagai pembahasan San Francisco maupun di dalam praktik negara maupun PBB bahwa paragraf ini pun memuat makna yang diisyaratkan oleh Kelsen ini. Memang, ditinjau dari pandang umum atas tindakan agresi dan penggunaan kekuatan pada dua puluh tahun terakhir ini, sangat diragukan jika paragraf ini dimaksudkan agar juga memiliki makna tersebut. Demikian pula, meski pun memang benar jika kita menganggap bahwa ayat 4 ini berlaku untuk kekuatan- kekuatan di luar kekuatan bersenjata, sangat diragukan jika ayat ini pun berlaku bagi berbagai langkah ekonomi dengan sifatnya yang memaksa. Kita juga perlu membedakan apakah penggunaan persenjataan yang tidak menimbulkan dampak ledakan apa pun dengan gelombang kejut dan panas dapat disebut sebagai penggunaan kekuatan. Persenjataan-persenjataan ini meliputi senjata kuman, biologis, dan kimiawi seperti gas beracun dan gas syaraf”. Persenjataan ini, jika memang digunakan mungkin bersama-sama dengan senjata-senjata lain yang konfensional, pertanyaannya ini murni bersifat akademis. Bersamaan dengan itu, pembatasan-pembatasan yang legal atas tindakan menyelamatkan diri sendiri dan penaklukan menuntut adanya klasifikasi semacam ini. Agaknya penggunaan persenjataan semacam ini dapat diasimilasikan dengan penggunaan kekuatan itu sendiri, dengan dua alasan. Pertama, yang menjadi kepedulian semua lembaga adalah apa yang secara lazim dirujuk sebagai “senjata: dan sebagai salah satu dari bentuk “peperangan”. Yang lebih meyakinkan adalah alasan yang kedua, yaitu kenyataan bahwa persenjataan ini digunakan untuk merusak jiwa dan harta benda, dan seringkali disebut sebagai “senjata pemusnah masal”. Yang lebih sulit untuk dianggap sebagai penggunaan kekuatan adalah Pengusiran secara paksa dan sengaja dari medan perang tertentu, digelontorkannya gelombang air ke sebuah lembah, dan pemberondongan tembakan ke arah daerah pemukiman lahan kayu di sepanjang perbatasan. Masalah lainnya muncul dalam bentuk pelanggaran-pelanggaran wilayah udara dan perairan territorial oleh satuan-satuan angkatan bersenjata sebuah negara, karena penyusupan semacam ini mungkin tidak bisa terdeteksi dan, atau, tidak memperoleh perlawanan, dan sama sekali tidak digunakan kekuatan. Pelanggaran-pelanggaran wilayah udara oleh angkatan udara menimbulkan protes dari negara yang merasa kedaulatannya dilanggar, tetapi secara umum biasanya tidak menimbulkan adanya tuduhan khusus pelanggaran Pasal 2 ayat 4, dari Piagam ini, atau tuduhan “agresi”. Tapi pada kasus-kasus khusus pelanggaran-pelanggaran ini memang disebut sebagai “tindakan agresi”. Pemerintah Soviet telah memberikan stigma kepada penerbangan- penerbangan intelejen militer dengan menganggap semua pesawat yang melintas di atas wilayah kedaulatan udara dan perairan Soviet sebagai “tindakan agresi”. Berbagai protes yang dilayangkan pemerintah Soviet dan berbagai dokumen resmi yang berhubungan dengan penerbangan U-2 pada tahun 1960 menekankan kemungkinan bahwa pada berbagai kondisi di zaman modern ini pesawat ini bisa saja membawa muatan yang mematikan dan, selanjutnya, dapat memicu siapa pun atau apa pun yang tugas khususnya melakukan deteksi untuk memerintahkan pembalasan dengan anggapan bahwa memang telah terjadi serangan. Dalam kaitan ini kita perlu membedakan adanya empat situasi : Pertama, penyusupan-penyusupan melalui wilayah udara dan laut mungkin saja dilakukan dalam rangka serangan bersenjata, dan bahkan merupakan pelanggaran nyata yang mungkin ditujukan kepada satu sasaran vital. Kedua, penyusupan mungkin saja bukan merupakan bagian dari sebuah serangan, tetapi ada di dalam kerangka menyelamatkan diri yang akan dilakukan dengan cara yang sedemikian rupa sehingga kedaulatan teritorialnya akan lumpuh untuk mencegahnya. “Operasi Pembalasan” tanggal 12 – 13 November 1946, di Selat North Corfu memiliki ciri ini. Penyusupan-penyusupan semacam ini merupakan bentuk intervensi diktator dan akan tampak melibatkan penggunaan kekuatan sekali pun dalam kenyataannya tidak ada perlawanan sama sekali. Ketiga, penyusupan ini mungkin saja disengaja dan illegal tetapi bukan merupakan bentuk penggunaan kekuatan: penerbangan- penerbangan intelejen militer dan bagi taktik “perang psikologis” termasuk ke dalam kategori ini. Tapi penerbangan semacam ini mungkin saja akan dianggap oleh negara yang menjadi sasarannya sebagai bukti situasi dan kondisi adanya niat menyerang atau persiapan untuk melakukan penyerangan di masa yang akan datang aspek inilah yang melahirkan ungkapan- ungkapan seperti “kegiatan-kegiatan agresif”, “tindakan-tindakan agresif”, “tindakan-tindakan bermusuhan”, dan sebagainya. Terakhir, pelanggaran-pelanggaran atas wilayah udara dan laut mungkin akibat adanya kelalaian atau ketidaksengajaan yang tidak bisa dihindarkan. Dalam praktiknya, tentu saja sulit bagi penerima untuk memilah-milah keempat jenis penyusupan ini pada saat terjadinya dan peralatan-peralatan pertahanannya tidak memiliki hubungan yang sama sekali mirip dengan salah satu atau beberapa kategori ini. 2. Ancaman Kekuatan Pembahasan mengenai masalah definisi agresi di berbagai lembaga PBB diantaranya ditujukan kepada masalah apakah sebuah definisi harus mencakup ancaman kekuatan. Penentangan atas pengertian semacam ini oleh beberapa perwakilan tertentu timbul dari adanya hasrat untuk menghindari pemberian izin bagi tindakan antisipasi bela-diri. Tidak ada alasan mengapa legalitas atau ancaman kekuatan ini tidak boleh dibahas secara terpisah dari masalah tindakan antisipatif. Suatu ancaman kekerasan dapat ditemui dalam pernyataan resmi maupun tersirat dari sebuah pemerintahan untuk menggunakan kekuatan jika seandainya ada tuntutan-tuntutan pemerintah ini yang tidak disetujui. Jika pernyataan untuk menggunakan kekuatan ini didasarkan kepada persyaratan yang tidak ada justifikasi penggunaan kekuatannya, maka ancaman ini sendiri pun sudah melanggar hukum. Pakta Kellogg-Briand tidak secara terang-terangan melarang adanya ancaman, tetapi ancaman untuk menggunakan langkah peperangan dengan motif-motif politik agaknya telah menjadi “pertimbangan untuk menempuh jalan perang untuk memecahkan berbagai kontroversi internasional” dan ” sebagai alat kebijakan nasional”. Doktrin tidak memberikan pengakuan bagi penggunaan kekerasan dan Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB dan perjanjian-perjanjian dengan ketentuan-ketentuan yang sama melarang ancaman untuk mengerahkan kekuatan. Larangan-larangan untuk melakukan intervensi yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan telah mencakup ancaman-ancaman semacam ini, dan dalam kaitan ini kita perlu mengingat kembali berbagai pernyataan Mahkamah Internasional yang berhubungan dengan “Operasi Pembalasan” dalam Perkara Terusan Corfu (merits).Contoh-contoh khusus digunakannya berbagai ancaman kekuatan di dalam praktik diplomatik terkenal dengan istilah “agresi tidak langsung” atau “illegal”. Terakhir, perlu dicatat bahwa Komisi Hukum Internasional telah memasukkan di dalam Draft Undang-Undang Pelanggaran Perdamaian dan Keamanan Internasional, “setiap ancaman oleh pejabat sebuah Negara untuk menggunakan tindakan agresi melawan Negara lainnya. Invasi dan pendudukan militer tanpa perlawanan yang dilakukan sesudah terlebih dahulu memberikan ancaman kekuatan, sebagaimana terjadi dalam kasus pendudukan-pendudukan Jerman atas Bohemia dan Moravia pada bulan Maret 1939, biasanya dianggap sebagai kasus penggunaan kekuatan yang dapat diakui. 3. Konsep Serangan Bersenjata Bagian ini akan kami gunakan untuk membahas pertimbangan-pertimbangan yang sifatnya umum yang berhubungan dengan konsep serangan bersenjata, teknik-teknik serangan tersebut, cikal bakalnya dan kuantum kekuatan yang digunakannya. Masalah yang dapat muncul juga berhubungan dengan berbagai konsep “pengandalan ” dan “penggunaan” kekuatan. Tapi tidak ada asumsi bahwa setiap penggunaan kekuatan secara tidak sah akan melibatkan adanya serangan bersenjata dalam pengertian kalimat taktis maupun militer. Dengan demikian, blockade laut melibatkan adanya penggunaan kekuatan yang tidak sah, meski pun sosoknya sendiri adalah pasif, karena penerapannya yang sebenarnya akan mencakup penggunaan kekuatan melawan kapal-kapal dari negara pantai yang bersangkutan. Ada pertimbangan bahwa istilah “serangan”, “penggunaan kekuatan” dan mengimplikasikan adanya sesuatu tindakan atau dimulainya serangkaian tindakan. Meski pun mungkin hanya merupakan pleonasme, pernyataan ini perlu mengingat adanya penentangan dari beberapa kalangan kepada prinsip penyerang pertama, “prinsip prioritas” di dalam definisi-definisi atas agresi. Menjelaskan tindakan apa pun yang dilakukan sama saja dengan memastikan kapan tindakan tersebut dilakukan dan bagaimana ciri-cirinya, dan agaknya “prinsip prioritas” ini memang melekat pada semua definisinya. Masalahnya tentu saja sangat berkaitan erat dengan antisipasi bela-diri. Masalah sebenarnya adalah memastikan apakah yang dimaksud dengan serangan atau menunjukkan kekuatan ini sebagai sebuah materi hukum. Ada satu persyaratan yang dinyatakan oleh beberapa kalangan penulis, yang menyatakan bahwa penggunaan kekuatan haruslah memenuhi unsur tertentu dan bahwa penggunaan kekuatan ini tidak mencakup “insiden- insiden perbatasan” sebab kategorisasi “insiden perbatasan ” ini sendiri masih kabur, tapi ditinjau dari sudut pandang penilaian tanggung jawab secara es post facto, perbedaan ini hanyalah relevan sepanjang jenis serangan yang terbatas terutama membuktikan tidak adanya unsur kesengajaan untuk menyerang, adanya kekeliruan yang benar-benar tidak disengaja, atau memang tujuannya hanya menyerang secara terbatas saja. Manakala justifikasi bela-diri diangkat, maka pertanyaan yang menjadi semakin nyata adalah apakah reaksi tersebut proporsional dengan ancamannya yang nyata? Masalah antisipasi bela-diri telah kita bahas pada Bab XIII dan diisyaratkan bahwa, meski pun hukum klasik atau hukum kelaziman mengakui adanya hak tindakan antisipatif, pertimbangan mengenai prinsip ini tidak mendukungnya dan hukum kelaziman belakangan memang terus menerus menjadi bahan pembicaraan. Untuk lebih jelasnya, istilah-istilah yang digunakan pada Pasal 51 Piagam PBB agaknya akan tampak menjadi prasyarat bagi adanya tindakan preventif. Hukum kelaziman biasanya dinyatakan sebagai hanya memperkenankan tindakan dalam keadaan-keadaan yang begitu mendesak saja, tetapi tidak terdapat cukup pedoman mengenai situasi-situasi yang mana saja yang bisa mengabsahkan tindakan antisipatif yang memenuhi rumusan verbal dari Webster pada perkara Caroline. Jadi pertanyaan yang seharusnya diangkat bukanlah kapan tindakan antisipatif itu bisa dibenarkan melainkan kapan sebuah serangan terjadi? Ini merupakan pertanyaan yang tidak bisa dijawab hanya dengan merujuk kepada “prinsip prioritas”. Persiapan-persiapan untuk melakukan serangan hanya bisa dilawan dengan persiapan-persiapan untuk mementahkan kemungkinan serangan tersebut secara efektif, dan secara umum, semua kegiatan yang tidak mempengaruhi wilayah territorial sebuah negara, termasuk wilayah udara dan lautnya, tidak bisa dijadikan sebagai pengabsahan bagi langkah- langkah pertahanan yang dapat dilaksanakan secara kekerasan. Jadi jika ada armada kapal perang atau pesawat tempur yang tidak bisa dijelaskan mendekati sebuah negara melalui samudera dan ruang angkasa di atas wilayah udara sebuah negara, maka hal ini akan masuk ke dalam kelompok ancaman kepada perdamaian tetapi tidak dengan sendirinya menjadi alasan untuk mengabsahkan langkah-langkah pertahanan yang dapat dipaksakan dengan kekuatan karena memang tidak ada penonjolan kekuatan oleh tersangka penyerang dan belum ada niat yang pasti untuk melakukan penyerangan. Kemungkinan bahwa pada kasus-kasus tertentu peralatan-peralatan teknis untuk melawan instrumen agresi tidak cukup untuk memastikan perlindungannya seandainya tindakan ini hanya diambil jika obyeknya memasuki wilayah kedaulatannya. Jadi lebi diterima secara logis jika memasang sebuah sistem deteksi operasi yang diarahkan kepada setiap ancaman yang mendekat melalui wilayah udara di atas samudera, melalui wilayah udara negara-negara ketiga, atau melalui ruang angkasa. Jika negara yang akan meluncurkan roket ini memiliki perbatasan yang berhimpitan dengan wilayah negara yang memberikan ancaman, maka langkah-langkah preventifnya mungkin akan diarahkan ke wilayah tersangka aggressor. Keadaan semacam ini hanya boleh diperkenankan dalam hal roket-roket yang meluncur; jika diperluas sehingga mencakup pesawat-pesawat cepat dan instrumen-instrumen lainnya, maka kemungkinan penyalahgunaan hukum ini akan semakin meningkat. Situasi ketika memang sudah disepakati adanya niat menyerang tetapi tidak dibarengi oleh adanya penggunaan kekuatan dengan pengertian yang sebenarnya telah menimbulkan masalahnya sendiri: langkah bela-diri mana saja yang boleh ditempuh oleh sebuah negara yang
no reviews yet
Please Login to review.