Authentication
397x Tipe DOCX Ukuran file 0.03 MB
Resiliensi dan Emosi Positif serta keterkaitannya dengan Profesionalitas pada
seorang Psikolog yang mengalami musibah
Oleh : Russel Ronggowarsito Iskandar (707111015)
Saat pertama kali mendengar kata resiliensi apa yang terbersit dalam benak
anda? Istilah baru? Atau sesuatu yang pernah anda dengar tapi anda lupa apa itu?
Dan apa jadinya pula jika anda mendengar kata resiliensi dan Psikolog? Semuanya
itu muncul dalam benak saya ketika mendapatkan tugas menghubungkan antara
resiliensi dengan kode etik Psikologi di Indonesia. Dalam tulisan ini saya ingin
memcoba untuk menjelaskannya secara sederhana dan mudah dipahami oleh orang
awam sekalipun yang membacanya.
Secara sederhana saya mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan
seseorang untuk menghadapi masalah yang membuatnya terpuruk menjadi kembali
kepada keadaan seperti sebelumnya. Saat seseorang mengalami masalah, resiliensi
memampukan orang tersebut untuk kembali kepada keadaan yang seimbang.
Kemudian hal berikutnya yang terbersit dalam benak saya adalah, apa jadinya jika
yang mengalami masalah tersebut adalah seorang psikolog? Sebagai professional,
seorang psikolog dituntut untuk dapat menjalankan tugasnya dalam kondisi apapun.
Saat klien datang kepada kita sebagai psikolog, entah bagaimanapun kondisi kita,
sebagai psikolog harus mampu untuk menangani klien dengan baik. Hal inilah yang
hendak saya bahas dalam tulisan saya berikut ini mengenai bagaimana pentingnya
resiliensi bagi seorang Psikolog. Semoga tulisan ini bisa sedikit memberikan
gambaran mengenai hal tersebut. Bukan bermaksud untuk menggurui mealui tulisan
saya ini tapi saya hanya bermaksud untuk kita belajar menelaah secara bersama-
sama.
Untuk lebih memudahkan memahami secara lengkap apa itu resiliensi, saya
mengutip salah satu bagian dalam teks lagu berjudul “skyscraper” yang dinyanyikan
oleh Demi Lovato. Lagu ini mungkin tidak banyak yang tahu namun dalam salah
satu bagiannya sedikit menggambarkan perumpamaan mengenai bagaimana
1
seseorang bisa bangkit kembali saat ada musibah atau kejadian yang membuatnya
menjadi bersedih atau bahkan memporak-porandakan dirinya sendiri. Bagian lagu
tersebut berbunyi seperti ini :
You can take everything I have
You can break everything I am
Like i'm made of glass
Like i'm made of paper
Go on and try to tear me down
I will be rising from the ground
Like a skyscraper!
Kurang lebih bagian lagu tersebut menceritakan si penyanyi menggambarkan
suasana hatinya yang rapuh seperti gelas dan tercabik-cabik seperti kertas saat
seseorang mengambil sesuatu dan merusak apa yang ada dalam kehidupannya.
Namun yang patut kita cermati adalah lanjutan lirik selanjutnya yang
menggambarkan kegigihan si penyanyi yang seakan menantang masalah dengan
menyatakan masalah boleh membuat saya terjatuh namun saya akan muncul dari
dalam tanah layaknya gedung pencakar langit. Dari potongan teks lagu tersebut kita
dapat menemukan sedikit gambaran mengenai resiliensi. Saat masalah datang dan
merusak sebagian kehidupan individu, membuat menjadi terpuruk atau bahkan
putus asa, resiliensi adalah kemampuan untuk kembali bangkit dari keterpurukan
dan menatap hidup ini dengan optimis dan menata kehidupan kembali seperti
sediakalanya.
Setiap individu pastinya tidak menginginkan adanya masalah dalam
kehidupannya masing-masing. Namun saat masalah datang, hanya ada dua pilihan
yakni menghadapinya atau menjadi terpuruk karena masalah tersebut. Hal inilah
yang menggambarkan seorang individu resilien dengan individu yang tidak resilien.
2
Barrett, et.al (dalam Tugade & Frederickson, 2004, p 321) menyatakan sebagai
berikut :
Accumulating evidence suggests that there may be individual differences in
people’s abilities to cognitively represent their emotions and exert effective
control over their emotional lives, allowing some to more effectively manage
their emotions during stressful situations.
Dari kutipan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa adanya perbedaan individu
dalam kemampuan secara kognitif untuk merepresentasikan emosinya dan juga
menggunakan kontrol yang efektif atas emosinya. Atas dasar inilah maka penulis
mengkaitkan resiliensi dengan adanya kemampuan mengelola emosi terutama yang
dititikberatkan adalah emosi positif.
Pertama-tama marilah kita membahas secara lebih mendalam mengenai
resiliensi. Menurut Bonanno (dalam Bonanno et al. 2007) mendefinisikan resiliensi
pada individu dewasa sebagai :
The ability of adults in otherwise normal circumtances who are exposed to an
isolated and potentially highly disruptive event such as the death of a close
relation or a violent or life-threatening situation to maintain relatively stable,
healthy levels of psychological and physical functioning...as well as the
capacity for generative experiences and positive emotions.
Dasri definisi di atas diketahui bahwa resiliensi merupakan kemampuan yang secara
relatif turut mempertahankan tingkat fisiologis dan psikologis seorang individu dan
juga dapat menghasilkan pengalaman-pengalaman dan emosi positif. Disadari atau
tidak, kejadian yang dialami oleh seorang individu turut membentuk diri psikologis si
individu yang bersangkutan. Maksudnya adalah masalah-masalah yang muncul
menjadi pengalaman-pengalaman dalam diri individu yang bersangkutan untuk
semakin kuat dan mampu mengatasi efek negatif dari masalah yang muncul dalam
kehidupannya.
3
Sementara Block et al (dalam Tugade & Fredrickson, 2004) menyatakan
bahwa “Psychological resilience has been characterized by the ability to bounce
back from negative emotional experiences and by flexible adaptation to the changing
demands of stressful experiences” (p. 320). Salah satu karakteristik resiliensi adalah
kemampuan untuk memantul kembali dari pengalaman-pengalaman negatif yang
dialami seseorang dalam kehidupannya dan kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan pengalaman yang menyebabkan stress.
Lebih lanjut dalam penelitiannya, Tugade dan Frederickson (2004)
menyatakan bahwa “an important finding in the current research is that positive
emotions contribute to the ability for resilient individuals to physiologically recover
from negative emotional arousal” (p. 331). Dari pernyataan kedua peneliti tersebut
dalam penelitiannya dapat diketahui bahwa emosi positif turut mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk secara fisiologis pulih dari situasi negatif. Dalam
pikiran saya yang terbayang ketika membaca pernyataan kedua peneliti tersebut
adalah saat seseorang mengalami masalah, emosi yang cenderung timbul adalah
emosi negatif, sementara jika seseorang mampu untuk memunculkan emosi
positifnya maka individu tersebut akan mampu untuk kembali pulih dari situasi yang
membuatnya menjadi stres. Folkman and Moskowitz (dalam Tugade & Frederickson,
2004) mendukung pernyataan di atas dengan menyimpulkan “a review of recent
evidence indicates that positive emotions help buffer against stress” (p.320).
Lalu kemudian muncul pertanyaan, bagaimana emosi positif itu dapat muncul
di tengah situasi yang menekan dan membuat stres seorang individu? Pertanyaan
tersebut dijawab dengan bukti-bukti yang dikumpulkan oleh Tugade dan
Frederickson (2004) dari berbagai macam sumber yang menyatakan
Additional evidence suggests that high-resilient people proactively cultivate
their positive emotionality by strategically eliciting positive emotions through
the use of humor, relaxation techniques, and optimistic thinking. Positive
emotionality, then emerge as an important element of psychological
resilience (p. 320).
4
no reviews yet
Please Login to review.