Authentication
189x Tipe DOCX Ukuran file 0.12 MB Source: karyailmiah.narotama.ac.id
RESUME SKRIPSI LEGALISASI ABORSI BAGI PEREMPUAN KORBAN PERKOSAAN DALAM KERANGKA PERLINDUNGAN HAK KESEHATAN REPRODUKSI SARI DUMA ELISABET TAMBUNAN NIM : 02111097 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA 2015 Abstrak Aborsi selalu menjadi kontroversi sejak jaman dahulu. Di Indonesia topik aborsi muncul kembali menjadi perdebatan setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 yang pada Pasal 31 melegalkan aborsi untuk kedaruratan medis dan korban perkosaan. Angka Kematian Ibu di Indonesia sangat tinggi, dan aborsi tidak aman menjadi salah satu penyebabnya. Aborsi tidak aman dilakukan karena perempuan tidak mendapatkan akses untuk pelayanan aborsi yang aman sebab Kitab Undang-Undang Hukum Pidana secara tegas menyatakan bahwa aborsi adalah suatu tindak pidana. Namun larangan tersebut tidak mengurangi terjadinya aborsi, justru memicu aborsi dilakukan secara diam- diam yang kemungkinan besar pelaksanaanya tidak sesuai prosedur kesehatan reproduksi serta sulit untuk dikendalikan. Aborsi yang tidak aman dapat membahayakan bagi perempuan yang melakukannya. Pemerintah harus secara serius menangani masalah kesehatan reproduksi perempuan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur tentang legalisasi aborsi bagi perempuan korban perkosaan. Undang-undang ini membuka akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan yang tidak dapat diperoleh jika mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang tidak memberikan celah untuk dilakukannya tindakan aborsi. Perlakuan aparat hukum terhadap korban perkosaan dalam kenyataannya seringkali tidak adil. Korban hanya diperlakukan sebagai saksi dan bukan sebagai korban yang mengalami dampak psikologis pada dirinya. Dengan undang-undang ini perempuan korban perkosaan memperoleh dukungan dan bantuan untuk pemulihan dari pemerintah yang belum diberikan jika hanya mengacu pada KUHP. Perkosaan adalah suatu kekerasan seksual yang melanggar hak asasi manusia. Dalam pelaksanaan hukum di Indonesia, fokus hanya diberikan kepada pelaku dan belum mempertimbangkan pengalaman yang dialami perempuan korban perkosaan. Oleh sebab itu pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak perempuan dan memberikan keadilan kepada korban perkosaan sebab negara berkewajiban menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Jika terjadi pembiaran, maka suatu negara dianggap gagal untuk melindungi hak asasi perempuan atas kesehatan reproduksi. Pemerintah perlu segera membuat peraturan pelaksana teknis agar yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dapat berjalan efektif. Peraturan teknis itu dapat berupa prosedur standar operasional baku yang harus dijalankan ketika menghadapi korban perkosaan Hal ini diperlukan agar tidak terjadi penyalahgunaan peraturan legalisasi aborsi. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan memberikan pendidikan kesehatan reproduksi pada semua perempuan agar sadar akan haknya atas kesehatan reproduksi serta mengetahui tersedianya akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi, khususnya kepada perempuan korban perkosaan. Kata kunci : legalisasi, aborsi, perkosaan A. PENDAHULUAN 1.Latar Belakang Hamil merupakan kodrat seorang perempuan disamping melahirkan dan menyusui. Kehamilan seorang perempuan pada umumnya sangat dinantikan ketika suatu keluarga terbentuk karena dianggap sebagai berkah dari Yang Maha Kuasa. tetapi tidak semua kehamilan diharapkan kehadirannya. Hal yang menyebabkan seorang wanita tidak menginginkan kehamilannya antara lain karena merupakan hasil perkosaan. Pada saat seorang perempuan mengalami kehamilan tak diinginkan (untuk selanjutnya disingkat KTD), salah satu jalan keluar yang diambil adalah tindakan aborsi. Secara jelas Badan Kesehatan Dunia (World Health Orgnization) mendefinisikan aborsi sebagai penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau kurang dari 20 minggu atau berat janin 500 gram.1 Menurut Fact About Abourtion, Info Kit on Women’s Health oleh Institute for Social, Studies, and Action, dalam istilah kesehatan, aborsi didefinisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai 20 minggu. Pada dasarnya ada dua jenis aborsi, pertama, aborsi yang terjadi secara alami tanpa adanya tindakan medis, dan kedua, aborsi yang dilakukan secara sengaja baik dengan tindakan medis maupun upaya lainnya. Aborsi di Indonesia masih dalam perdebatan yang panjang, dan selama ini pula perempuan berada dalam posisi yang dirugikan. Aborsi merupakan tindakan yang dilarang di sejumlah negara, salah satunya Indonesia. Hal ini dinyatakan antara lain dalam KUHP Pasal 346, 347,348 dan 349 dan 535. Secara tertulis, tidak ada satu pasal pun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHP) yang memperbolehkan seorang dokter untuk melakukan abortus atas indikasi medis, sekalipun untuk menyelamatkan nyawa ibu. Dalam prakteknya, dokter yang melakukan abortus tidak dihukum jika dapat memberikan alasan yang dapat diterima hakim. Dasar yang digunakan adalah pasal 48 KUHP yang dinyatakan sebagai berikut : “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dapat dipidana.” Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa peraturan di Indonesia sama sekali tidak memberikan celah untuk tindakan aborsi. Implikasinya, tidak diberikan celah juga untuk pelayanan kesehatan terhadap tindakan aborsi, sehingga banyak terjadi aborsi yang ilegal atau diam-diam. Hal ini disebabkan tidak adanya akses untuk mendapat pelayanan kesehatan. Pelaksanaan aborsi yang diam-diam sangat berisiko karena dilakukan tanpa prosedur yang tepat. Hal ini sering disebut sebagai aborsi yang tidak aman (unsafe abortion). Umumnya aborsi yang tidak aman terjadi karena tidak tersedianya pelayanan kesehatan yang memadai. Apalagi aborsi dikategorikan tanpa indikasi medis, seperti korban perkosaan, hamil diluar nikah, kegagalan alat kontrasepsi 1Zumratin K Susilo dan Herna Lestari, Aborsi : Fakta, Kebutuhan dan Tantangan Serta Pengaruhnya dalam Profil Kesehatan Perempuan, disampaikan pada acara Temu Ilmiah Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, Hotel Savoy Homann Bidakara Bandung, 6 Oktober 2002, diakses di http://www.mitrainti.org pada tanggal 18 Oktober 2014 dan lain-lain. Sebab lainnya, ketakutan dari calon ibu dan pandangan negatif dari keluarga atau masyarakat akhirnya menuntut calon ibu untuk melakukan pengguguran kandungan secara diam-diam tanpa memperhatikan resikonya. Hal ini dapat membahayakan nyawa si ibu dan menimbulkan penderitaan pada saat prosesnya. Angka Kematian Ibu (untuk selanjutnya disingkat AKI) hamil di Indonesia sangat tinggi dan aborsi tidak aman menyumbang 15 % – 30 % sebagai 2 penyebabnya. Angka ini terlalu besar untuk diabaikan, sehingga sangat perlu diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah, yang telah meratifikasi Convention of The Elemination of All Forms of Discrimination Against Woman/CEDAW), juga berdasarkan masukan dari masyarakat terutama dari aktivis perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan, mengeluarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang mengadopsi kebutuhan perlindungan atas hak kesehatan reproduksi. Undang-undang ini tetap menyatakan larangan tindakan aborsi, namun memperbolehkan aborsi dengan persyaratan tertentu. Hal ini tercantum dalam pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009. Sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi pada pasal 31. Peraturan pemerintah ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat diantaranya para pegiat hak asasi manusia, ulama, bahkan dari kalangan dokter. Ini berkaitan dengan aborsi untuk korban perkosaan. Ada kekhawatiran bahwa peraturan ini akan rawan disalahgunakan apabila tidak diberikan ukuran yang jelas yang dapat menjadi acuan pelaksanaannya. Pemerintah dalam hal ini menyatakan bahwa peraturan pemerintah ini merupakan wujud pelayanan kesehatan reproduksi yang menjadi hak perempuan, yang juga mengacu pada program aksi International Conference on Population and Development (ICPD) Kairo 1994 yaitu kesepakatan Internasional dimana Indonesia juga menandatanganinya. Dalam isi kesepakatan itu, fakta tentang aborsi tidak aman merupakan pelanggaran atas dua hak asasi manusia, yaitu : hak untuk hidup bagi perempuan yang dalam proses produksinya menghadapi resiko gangguan fisik dan mental, kecatatan dan kematian akibat tindakan aborsi tidak aman; dan hak untuk mendapat pelayanan yang berkualitas standar, termasuk pemanfaatan teknologi kesehatan reproduksi dan informasi yang terkait, tanpa diskriminasi apapun. Pada saat terjadi perkosaan, perempuan sering mendapat perlakuan tidak adil. Hukum lebih fokus kepada perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dan menempatkan korban sebagai objek. Padahal korban perkosaan perlu mendapat perhatian yang lebih. Perlu dikaji juga dari segi Viktimologi yang menjadikan korban sebagai fokus. J.E. Sahetapy menyatakan bahwa orientasi viktimologi adalah kesejahteraan masyarakat, masyarakat yang tidak menderita atau di mana para anggota masyarakat tidak menjadi korban dalam arti yang luas.3 2Prakarsa Policy Preview,Angka Kematian Ibu (AKI) Melonjak, Indonesia Mundur 15 Tahun, Oktober 2014, diakses di http://theprakarsa.org pada tanggal 8 Oktober 2014 3J.E. Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan,Jakarta, 1987, hlm 26
no reviews yet
Please Login to review.