Authentication
432x Tipe DOCX Ukuran file 0.09 MB
KONTRIBUSI PSIKOLOGI DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA1
Ivan Muhammad Agung2
“...Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepata taqwa...”
(QS. Al-maa’idah: 8)
Pengantar
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka. Pernyataan tersebut tercantum dalam
penjelasan UUD 1945 (Hardjono, 2004). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa
hukum memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Hukum memiliki peran sebagai kontrol sosial sehingga dapat mewujudkan
masyarakat adil, tertib dan damai. Namun kenyataannya hukum belum mampu
berperan maksimal sehingga masih menimbulkan rasa ketidakadilan di
masyarakat. Menurut Barimbing (dalam Sunarmi, 2004) bahwa masalah utama
hukum adalah pada pembuatan hukum dan penegakan hukum.
Semenjak era reformasi tahun 1998, permasalahan yang menjadi sorotan
yaitu permasalahan hukum Indonesia terutama dalam hal penegakan hukum.
Hasil survei 'World Justice Project 2011 Rule of Law’ terhadap penegakan
supremasi hukum di 65 negara di dunia menempatkan Indoensia berada pada
rangking bawah, yaitu berada di posisi kedua dari terakhir untuk wilayah regional
dan di posisi 47 secara global (dari total 65 negara (http://news.detik.com). Hasil
survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang mengukur pendapat 2.050 responden
dari 33 provinsi tahun 2012 di Indonesia mengenai penegakan hukum diperoleh
hasil minus, artinya banyak dari responden yang menilai negatif (buruk) terhadap
penegakan hukum Indonesia. Hasil tersebut konsisten dengan hasil survel LSI
tahun 2011 juga menunjukkan bahwa praktek mafia hukum banyak terdapat di
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Indikatornya banyak kasus-kasus korupsi
yang melibatkan pejabat publik tidak diselesaikan secara adil. Mereka dihukum
ringan dan bahkan ada yang dibebaskan.
Menurut Rahardjo (2006) masalah peradilan bukan masalah hukum saja,
melainkan masalah perilaku manusia terutama aparat penegak hukum (polisi,
jaksa dan hakim). Perilku penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) merupakan
1 Dipublikasikan dalam Milla (2012): Bunga Rampai Psikologi:Kontribusi Psikologi untuk Bangsa Keislaman dan
Keindonesiaan, hal 67-90.
2 Dosen Fakultas Psikologi UIN Suska Riau
1
faktor penting dalam penegakan hukum secara optimal dan bermartabat (Ridwan,
2008) Misalkan, dalam persidangan yang melibatkan banyak orang, yaitu jaksa,
pembela, saksi, terdakwa, dan peserta sidang memunculkan banyak hubungan
sosial sehingga menimbulkan muatan psikologis, yang berpotensi terjadinya bias
dalam putusan hukuman (Probowati, 1995). Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa putusan hukuman cenderung dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar
hukum, antara lain faktor sosial-psikologis. Probowati (1996; 2001) mengatakan
ada lima faktor yang mempengaruhi putusan hukuman, yaitu (1) hakim, misalnya
kepribadian, suasana hati, inteligensi, (2) opini publik yang tertulis dalam media
massa ketika sidang tengah berlangsung, (3) pengacara, misalnya kinerja, jenis
kelamin, dan gaya bicara yang meyakinkan, (4) tuntutan jaksa, dan (5) terdakwa,
misalnya, jenis kelamin, ras, status sosial ekonomi, dan kemampuan bicara.
Penegakan hukum di Indonesia belum mencerminkan keadilan yang
sesungguhnya. Banyak kasus-kasus yang melibat rakyat kecil diproses lebih cepat
dan mendapatkan hukuman lebih berat dibandingkan dengan kasus-kasus yang
melibatkan pejabat atau orang yang memiliki kekuasaan dan materi. Misalkan,
kita masih ingat bagaimana kasus yang menimpa seorang nenek yang dituduh
mencuri hasil kebun atau seorang remaja dituduh mencuri sendal jepit. Kejadian
tersebut menjadikan penegakan hukum di Indoensia dipandang negatif oleh
masyarakat. Tulisan ini mencoba memahami hubungan psikologi dan hukum, dan
sejauhmana kontribusi psikologi dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
Integrasi Psikologi dan Hukum
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, hubungan antara satu ilmu bisa
saling berkaiatan satu sama lain. Bahkan setiap hubunganya tidak hanya sebatas
sebagai pelengkap tetapi juga bisa menjadi suatu yang bersifat inheren. Hal ini
disebabkan perkembangan ilmu pengatahuan, informasi dan teknologi
menimbulkan permasalahan yang begitu kompleks pada kehidupan manusia.
Dalam memahami sesuatu, tidak hanya cukup dengan menggunakan satu
pendekatan saja, melainkan dibutuhkan suatu pendekatan yang bersifat holistik,
artinya dalam memahami realitas khususnya berkaitan dengan perilaku manusia
perlu suatu pendekatan interdisipliner ilmu. Pendekatan ini sangat relevan bila
mengkaji suatu masalaah yang begitu kompleks seperti permasalahan hukum.
Menurut Rahardjo (2006) kompleksnya permasalahan hukum tidak hanya
semata peramasahan hukum saja melainkan masalah perilaku manusia. Hukum
dibuat manusia untuk mengatur perilaku manusia agat tertib dan teratur. Namun
2
realitas menunjukkan seringkali hukum menjadi “mainan” manusia untuk
mewujudkan kepentingan. Hukum dijadikan alat untuk mecapai tujuan.
Seseorang politikus, akan menggunakan hukum untuk kepentingan politiknya,
seorang pengusaha akan menggunakan hukum untuk kepentingan bisnisnya dan
sebagainya. Pemaknaan hukum berdasarkan tujuan dan kepentingan masing-
masing menjadi suatu dilema tersendiri dalam dunia peradilan. Asas-asas
keadilan cenderung diabaikan, digeser oleh asa-asas kepentingan bersifat personal
atau kelompok
Manusia menjadi aktor utama dalam proses penegakan hukum.
Masalahnya sekarang ini banyak perilaku-perilaku oknum cenderung
menggunakan “kelemahan “ hukum untuk mengambil suatu kesempatan dalam
menggapai tujuan. Logikanya hukum menjadi suatu alat untuk memutar balikan
fakta bahkan menjadi suatu alat untuk menyerang orang lain. Fenomena telah
banyak kita lihat sekarang ini. Berkaitan dengan perilaku manusia salah satu ilmu
yang relevan dengan tersebut adalah psikologi. Psikologi adalah ilmu yang
mempelajari perilaku dan proses mental manusia. Dalam perjalanannya psikologi
banyak berinteraksi dengan ilmu-ilmu lainnya termasuk hukum.
Interaksi psikologi dan hukum telah lama terjadi, semenjak tahun 1900–an.
Perkembangan signifikan terjadi pada tahun 1920, psikologi dan hukum
berusahan mencari bentuk dan definisi peran yang dimainkan dalam disiplin ilmu
masing masing. Integrasi psikologi dan hukum berawal dari suatu keyakinan
filosofi yang mengatakan bahwa dalam memandang ilmu tidak seharusnya dilihat
sebagai suatu entitas terpisah dan berbeda, namun lebih dari merupan saling
berhubungan satu sama lainya. Munsterberg (1908), mengatakan bahwa psikologi
harus berhubungan dengan ilmu-ilmu lainnya. Psikologi harus berbicara dalam
tataran praktis, tidak hanya sekedar konseptual. Oleh karena itu aplikasi
psikologi harus menyentuh aspek dasar manusia dengan menggunakan
pendekatan berbeda. Salah satu bentuk pendekatannya adalah berorentasi pada
problem kehidupan manusia (Pfeifer, 1997). Falsafah tersebut mendorong ilmu
psikologi untuk lebih banyak berinteraksi dengan ilmu lain termasuk ilmu hukum,
terutama dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan perilaku manusia.
Kaspardis (dalam Kohnken, dkk., 2003) membagi tiga bentuk
pengintegrasian psikologi dalam hukum, yaitu psychology in law, psychology and
law, dan psychology of law. Psychology in law adalah aplikasi psikologi yang
spesifik dalam bidang hukum, seperti psikologi polisi, psikologi dalam kesaksian
saksi mata (Blackburn, 1996). Psychology and law lebih cenderung kepada
3
psycholegal research yang berkaiatan dengan pelaku kriminal, juri (pengambilan
keputusan ) dan hakim. Psychology of law mencakup area penelitian seperti,
mengapa orang mematuhi atau tidak mematuhi hukum, efek hukum atau aplikasi
hukum dalam perilaku manusia.
Proses integrasi psikologi dan hukum bukannya tanpa masalah. Beberapa
masalah mendasar dalam proses tersebut masih sering ditemukan, terutama
dalam framework dasar dalam meletakkan kaedah-kaedah keilmuan dan
perbedaab dalam hal tujuan, metode dan gaya penyelidikan (Costanzo, 2006).
Kegigihan dalam memegang prinsip dasar tersebut terkadang membuat integrasi
psikologi dan hukum cenderung kaku dan terlalu konseptual. Artinya, setiap
bidang ilmu berusaha menganggap ilmunya lebih mampu menjelaskan suatu
perilaku secara ilmiah. Selain itu, sumber daya manusia cenderung terbatas
terutama dalam penguasaan ilmu psikologi dan hukum. Selama ini, kebanyakan
para ahli hanya menguasai satu bidang, sedangkan bidang lain tidak dikuasai
secara baik sehingga kurang komprehensif dan aplikatif. Misalkan seseorang
menguasai ilmu psikologi namun tidak menguasai ilmu hukum secara baik
Permasahaan ini muncul karena tidak mudah bagi seseorang untuk belajar secara
intens ilmu lain. Untuk menjadi ahli (expert) dalam dua bidang (psikologi dan
hukum) membutuhkan tenaga baik pikiran, fisik maupun materi, sehingga banyak
orang hanya mengambil jalan pintas dengan mengikuti kuliah singkat mengenai
hukum atau psikologi (Costanzo, 2006).
Namun kondisi ini sedikit sudah berubah terutama di Barat. Banyak ahli-
ahli telah mampu mengusai dengan baik ilmu psikologi dan hukum, sehingga
melahirkan penelitian-peneltian yang berkualitas yang dipublikasikan melalui
jurnal-jurnal penelitian, seperti Law and Human Behavior, Applied Social
Psychology, Law and Social Inquiry, Behavioral science, & law, Law And
Psychologucal Review, dan Public Policy, Psychology and Law. Di Indonesia
perkembangan psikologi hukum masih lambat dan kurang berkembang. Salah
satu permasahananya dalah sumber daya manusia yang masih terbatas. Minat
mahasiswa dalam mengkaji permasalah hukum dan psikologi dalam satu
perspektif masih sedikit, sehingga hasil-hasil penelitian masih terbatas.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan tentang psikologi hukum, di
antaranya: Probowati (1996), tentang peranan etnik dan daya tarik wajah terdakwa
terhadap putusan hukuman Probowati (2001) tentang rekuisitor jaksa penuntut
umum dan kepribadian otoritarian hakim dalam proses pemindanaan Indonesia,
Agung (2008) tentang pengaruh publikasi pra sidang dan status sosial ekonomi
4
terdakwa terhadap putusan hukuman. Nuqul (2011) tentang hukuman setimpal
no reviews yet
Please Login to review.