Authentication
285x Tipe PDF Ukuran file 0.34 MB Source: core.ac.uk
CORE Metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
Provided by Jurnal Psikologi
JURNAL PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA
VOLUME 35, NO. 1, 62 – 79 ISSN: 0215-8884
Ngemong: Dimensi Keluarga Pasien
Psikotik di Jawa
M.A. Subandi
Gadjah Mada University
Abstract Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa dalam memberikan perawatan
The purpose of this paper was to explore bagi penderita gangguan jiwa, anggota
family burden, coping, and support for keluarga mereka mengalami beban
psychotic patients in a Javanese setting. A psikologis yang sangat berat. Hal ini
combination of ethnographic and clinical tercermin dalam beberapa istilah yang
methodology was employed. During my mereka gunakan untuk menggambarkan
fieldwork in Yogyakarta, Indonesia, I kondisi yang mereka alami. Misalnya,
followed 9 participants diagnosed as having anggota keluarga menggambarkan
first episode psychosis. Three of them met the pengalaman merawat penderita gang‐
ICD‐10 criteria for Schizophrenia, five for guan jiwa sebagai ’pengalaman yang
Acute and Transient Psychotic Disorder traumatis’, ’sebuah malapetaka besar’,
(ATPD), and one for Schizoaffective Disor‐ ’pengalaman yang menyakitkan’, ’meng‐
der. I carried out ethnographic fieldwork hancurkan’, ’penuh dengan kebingung‐
among nine participants and their families in an’, dan ’kesedihan yang berkepan‐
their natural home setting, as well as
conducting in‐depth interviews. In addition, jangan’ (Marsh, 1992; Pejlert, 2001). Kata‐
I administered the Family Crisis Oriented kata seperti ’merasa kehilangan’ dan
Personal Evaluation Scale (F‐COPES) for ’duka yang mendalam’ juga seringkali
family members and Sentence Completion digunakan dalam konteks ini. Keluarga
Test (SCT). The result indicated that despite mengalami perasaan kehilangan, baik
experiencing psychological and economic dalam arti yang nyata (kehilangan orang
burden, families provided a high level of yang dicintai), maupun kehilangan
support for their mentally ill members which secara simbolik (kehilangan harapan di
are reflected in the application of Javanese masa depan karena penderita tidak
principle of ngemong. Three aspects the mampu mencapai apa yang di cita‐
practice of ngemong is discussed. citakan) (Lefley, 1987; Marsh dan
Keywords: family, psychotic illness, burden, Johnson, 1997). Penderitaan seperti di
coping, support, Javanese culture atas tidak hanya dialami oleh keluarga
pengasuh penderita schizophrenia yang
sudah berlangsung lama. Keluarga
62 JURNAL PSIKOLOGI
JURNAL PSIKOLOGI 41
NGEMONG: DIMENSI KELUARGA PASIEN PSIKOTIK DI JAWA
pengasuh penderita psikosis episode karena penderita dipandang tidak lagi
pertama juga dituntut agar melakukan produktif.
coping terhadap tingkat stress mereka Beban yang disarasakan oleh
yang tinggi (Tennakon et al., 2000). anggota keluarga sangat berat, namun
Salah satu beban psikologis yang demikian keluarga pada umumnya tetap
berat bagi keluarga penderita gangguan menunjukkan rasa tanggung jawab,
jiwa adalah stigmatisasi. Finzen (dikutip dukungan dan kasih sayang yang besar
oleh Schultz dan Angermeyer, 2003) terhadap anggota keluarga mereka yang
menyebut stigmatisasi sebagai ’penyakit mengalami gangguan mental. Sikap
kedua,’ yaitu sebuah penderitaan positif ini lebih banyak ditemukan pada
tambahan yang tidak hanya dirasakan penelitian‐penelitian lintas budaya
oleh penderita, namun juga dirasakan mengenai respon keluarga dalam
oleh anggota keluarga. Dampak merawat dan memperhatikan pasien
merugikan dari stigmatisasi termasuk schizophrenia. Jenkins dan Karno (1992),
kehilangan self esteem, perpecahan dalam misalnya, menemukan perbedaan sikap
hubungan kekeluargaan, isolasi sosial, antara keluarga keturunan Anglo‐
rasa malu; yang akhirnya menyebabkan Amerika dengan keluarga keturunan
perilaku pencarian bantuan menjadi Meksiko‐Amerika. Keluarga Anglo‐
tertunda (Lefley, 1996). Amerika pada umumnya memberikan
Hubungan stigma dan gangguan tanggapan emosi yang bernada ’tinggi’,
mental dapat ditemukan di berbagai misalnya mereka menjadi marah,
belahan dunia, namun bentuk manifes‐ jengkel, dan frustrasi. Sementara itu
tasinya sangat beragam, tergantung keluarga Meksiko‐Amerika cenderung
pada budaya setempat. Weiss dan menunjukkan tanggapan emosi yang
kawan‐kawan. (2001), membandingkan bernada ‘rendah’, misalnya mereka
antara stigma sosial pada gangguan menjadi sedih, berduka atau merasa
mental di masyarakat tradisional kasihan. Hal ini menunjukkan bahwa
Bangalore, India, dan di masyarakat keluarga keturunan Meksiko‐Amerika
modern di London. Penelitian ini memiliki tingkat toleransi yang lebih
menunjukkan bahwa pada masyarakat tinggi pada penderita schizophrenia.
Bangalore, stigmatisasi memiliki kaitan Dalam penelitian paling baru yang
erat dengan hilangnya harga diri, ter‐ dilakukan oleh Garcia dan kawan‐
ganggunya status sosial, dan kesulitan kawan (2006) ditemukan bahwa
untuk mendapatakan pasangan dalam ‘dukungan keluarga’ pada keluarga
pernikahan. Di London, stigma lebih keturunan Meksiko‐Amerika dapat
dikaitkan dengan aspek ekonomi memprediksi penggunaan obat‐obatan.
dimana mereka merasa kehilangan Dengan demikian dukungan keluarga
yang tinggi dapat meningkatkan
JURNAL PSIKOLOGI 63
SUBANDI
rutinitas penggunaan obat‐obatan, jukkan bahwa coping yang berfokus
sehingga kekambuhan dapat dicegah. pada permasalahan (problem‐focused
Di Cina, Ip dan McKenzie (1998) coping) –dimana pihak keluarga secara
melaporkan bahwa meskipun anggota aktif mencari bantuan dari berbagai
keluarga yang merawat penderita sumber– sangat efektif ketika kondisi
schizophrenia mengalami stres, mereka penderita masih terbuka terhadap
tetap menunjukkan sikap penerimaan perubahan. Sementara itu coping yang
yang tinggi, bertindak secara positif, berfokus pada emosi (emotional‐focused‐
mempunyai harapan yang tinggi, dan coping), dimana anggota keluarga harus
mereka mencari dukungan yang bersifat menerima keadaan sakit anggota
keagamaan. Sementara itu pada keluar‐ keluarganya, kemungkinan lebih sesuai
ga Nigeria, Ohari dan Fido (2001) untuk keadaan penderita yang sudah
menemukan bahwa meskipun keluarga kronis dan sulit untuk berubah (see
merasa malu karena memiliki anggota Ostman dan Hansson, 2001). Dalam
yang menderita schizophrenia, namun penelitian mereka tentang psikosis epi‐
mereka tetap memiliki rasa simpati yang sode pertama, Tennakoon dan kawan‐
tinggi, banyak membantu dan memberi kawan (2000) menemukan bahwa
dukungan pada penderita. keluarga menggunakan kedua bentuk
Beban psikologis yang dialami strategi coping tersebut secara berba‐
keluarga akan mendorong mereka untuk rengan, baik strategi coping yang
mencari strategi coping. Pada umumnya berfokus pada masalah maupun yang
keluarga akan memanfaatkan berbagai berfokus pada emosi.
sumberdaya psikologis, sosial, budaya Penelitian lintas‐budaya mengenai
maupun sumberdaya praktis (Scazufca coping pada keluarga yang mengalami
dan Kuipers, 1999). Hatfield (1979) gangguan jiwa menunjukkan bahwa
melakukan penelitian eksploratif ber‐ keluarga menggunakan sumber daya
kaitan dengan strategi coping. Dia budaya dan agama untuk mengatasi
meminta para anggota keluarga untuk beban dan penderitaan. Redko (2003)
menilai sendiri efektifitas dari sumber melaporkan bahwa keluarga keturunan
daya coping yang mereka gunakan. Brazil cenderung bersandar pada agama
Ternyata mereka menaruh kepercayaan untuk terapi sekaligus untuk mencari
yang besar pada networking keluarga dan cara menghilangkan ketegangan. Guar‐
teman. Mereka juga menilai sangat naccia (1998) membandingkan beban
penting untuk menjalin hubungan keluarga dan sumber dukungan antara
dengan keluarga yang mengalami nasib keluarga keturunan Hispanik‐Amerika,
yang sama. Afrika‐Amerika dan Eropa‐Amerika. Dia
Berkaitan dengan berbagai jenis melaporkan bahwa keluarga Afrika‐
coping, beberapa penelitian menun‐ Amerika dan Hispanik‐Amerika lebih
cenderung mendapatkan dukungan dari
64 JURNAL PSIKOLOGI
NGEMONG: DIMENSI KELUARGA PASIEN PSIKOTIK DI JAWA
keluarga, agama, dan budaya. Semen‐ tahankan kedekatan emosional. Adanya
tara keluarga Eropa‐Amerika cenderung perayaan lebaran merupakan bukti
lebih banyak mendapat dukungan dari nyata atas hal tersebut, dimana orang‐
profeisonal. Guarnaccia dan kawan‐ orang yang berasal dari desa yang
kawan (1992) melaporkan bahwa keluar‐ mencari penghidupan di kota‐kota besar
ga Hispanik seringkali menggunakan akan kembali ke desa untuk bertemu
idiom Si Dios quiere (Jika memang dengan keluarga dan saudara mereka.
dikehendaki Tuhan) untuk menyatakan Pada perayaan ini kelompok sesama
harapan mereka pada anggota keluarga satu keturunan yang dikenal dengan
yang sakit. Ruangreangkulkij dan Chesla nama trah (di kalangan kaum ningrat)
(2001:123) menemukan bahwa ibu‐ibu atau bani (di kalangan kaum santri)
keturunan Thailand cenderung mema‐ biasanya akan menyelenggarakan perte‐
hami penyakit sebagai karma sebagai‐ muan tahunan. Jaringan keluarga besar
mana dalam kepercayaan agama ini akan memberikan dukungan yang
Buddha, sehingga terdorong untuk signifikan, terutama pada masa krisis.
melakukan thum‐jai, yaitu “gabungan Orang Jawa juga senang membentuk
beberapa sikap seperti penerimaan, jaringan keluarga yang lebih luas
sabar, pengertian, tulus, dan adanya rasa dengan memperlakukan orang yang
tanggung jawab.” tidak terikat secara keluarga sebagai‐
Bagi masyarakat Jawa, keluarga mana anggota keluarga mereka sendiri.
merupakan bagian yang sangat esensial ’Ideologi kekeluargaan’ atau ’familisme’
dalam kehidupan mereka. Secara dikalangan masyarakat Jawa telah
emosional keluarga dapat memberi rasa mengakar secara sosial, budaya, dan
tentrem (Hildred Geertz, 1961:94), politik pada kehidupan modern Indo‐
hangat, dan kasih sayang (Shiraishi, nesia (Shiraishi, 1997:164), yang banyak
1997:57). Pentingnya keluarga bagi membawa pengaruh negatif daripada
masyarakat Jawa tercermin dari peri‐ positif. Misalnya timbulnya korupsi,
bahasa: mangan ora mangan waton kumpul kolusi dan nepotisme.
(makan tidak makan asal kumpul). Sistem kekeluargaan Jawa adalah
Namun demikian nilai kebersamaan bilateral, dimana garis keturunan ibu
tersebut terlihat banyak mengalami maupun ayah mendapatkan perlakuan
perubahan, terutama dengan adanya yang sama (Geertz, 1961:15; Keeler,
berbagai tantangan modernisasi. Saat ini, 1987:32; Mulder, 1994:23). Namun dalam
sudah tidak asing lagi jika anak muda hal pembentukan keluarga baru terdapat
Jawa meninggalkan lingkungan kecenderungan pada prakek uxorilokal,
keluarga mereka dengan tujuan mencari dimana pasangan yang baru menikah
mata pencaharian atau pendidikan cenderung tinggal di rumahnya pihak
tinggi. Tapi meskipun berjauhan dengan istri. Praktek tersebut diyakini dapat
keluarga, mereka cenderung memper‐ mencegah konflik dan ketegangan
JURNAL PSIKOLOGI 65
no reviews yet
Please Login to review.