Authentication
443x Tipe PDF Ukuran file 0.08 MB Source: media.neliti.com
LANDASAN AKSIOLOGIS SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN
Sri Soeprapto
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
email: ssoeprapto@yahoo.com
Abstrak: Perumusan sistem pendidikan nasional membutuhkan pemikiran yang mendalam, yaitu
sampai ke pertimbangan landasan-landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Landasan aksio-
logis sistem pendidikan nasional penting sebagai dasar untuk menganalisis penerapan teori pendidikan
yang berkaitan dengan tujuan pendidikan, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai Pancasila.
Fungsi pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir rasional dan mem-
bentuk akhlak mulia dalam kaitannya dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai-nilai religius, kemanu-
siaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan
potensi siswa agar dapat berpikir secara rasional, dan berakhlak mulia dalam kaitannya dengan nilai-
nilai Pancasila, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keindahan, dan religius, serta
konstruktif dan kreatif agar mampu bertanggung jawab untuk memajukan bangsa Indonesia dalam
menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat modern didasarkan pada demokrasi dan keadilan.
Kata Kunci: landasan aksiologis, nilai-nilai Pancasila, tujuan pendidikan nasional
AN AXIOLOGICAL FOUNDATION OF THE INDONESIAN NATIONAL
EDUCATION SYSTEM IN THE PERSPECTIVE OF PHILOSOPHY OF EDUCATION
Abstract: The formulation of a national education system requires deep thinking about ontological,
epistemological, and axiological foundations. The axiological foundation of a national education sys-
tem is important as a basis for analyzing the application of educational theories related to the educa-
tion goal, particularly in relation to the values of Pancasila. The functions of national education are to
develop the ability to think rationally and form a noble character in relation to the values of Pancasila,
namely the values of the divinity, humanity, unity, democracy, and justice. The national education
goals are to develop the students’ potential to be able to think rationally, and to have a noble character
in relation to the values of Pancasila, which upholds the values of truth, goodness, beauty, and divini-
ty, as well as constructively and creatively to be able to be responsible for advancing the Indonesian
nation in adjusting with the demands of the modern society based on democracy and justice.
Keywords: axiological foundation, values of Pancasila, national education goals
PENDAHULUAN didik yang mampu membawa kemajuan sesuai
Pendidikan, terutama pendidikan formal cita-cita masyarakat dan bangsanya.
merupakan salah satu proses dalam hidup ber- Kemajuan hidup yang dapat disamakan
masyarakat dan berbangsa yang penting. Sum- dengan modernisasi tentunya bukan perubahan
ber daya manusia terdidik sebagai hasil pendi- yang hanya terbatas untuk meniru gaya hidup
dikan akan besar pengaruhnya pada perkem- Barat yang rasional pragmatis. Meskipun mo-
bangan hidup bermasyarakat dan berbangsa. Ni- dernisasi lahir di Barat, tetapi modernisasi bu-
lai-nilai dan norma-norma moral yang dijun- kan merupakan perubahan yang hanya terbatas
jung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan pada menirukan gaya hidup orang Barat. Rasio-
berbangsa perlu diperhatikan agar kegiatan pen- nalitas dan kebebasan di Indonesia tidak harus
didikan dapat menghasilkan sumber daya ter- sama dengan di Barat (Koentjaraningrat, 1997:
135). Ilmu pengetahuan jaman Modern yang
266
267
berkembang di Barat hanya mengenal kebenar- donesia dapat berfungsi ganda, yaitu menang-
an empiris dan cenderung menempatkan nilai- gulangi dampak negatif modernisasi sekaligus
nilai kebendaan di atas nilai-nilai hidup yang hambatan dari ikatan-ikatan dan loyalitas pri-
lain, sehingga dapat menjungkirbalikkan hierar- mordial. Sistem pendidikan nasional berfungsi
khi nilai yang sebenarnya. Kecenderungan ter- untuk mendukung eksistensi bangsa Indonesia
sebut menyebabkan diabaikannya nilai-nilai dan dan sekaligus meningkatkan kualitasnya dalam
norma-norma moral (Hadiwardojo, 1993:50). menyesuaikan diri pada tata pergaulan dunia
Pendidikan dalam pandangan yang luas modern (Kartodirdjo, 1994:49).
adalah proses pembentukan pribadi dalam se- Undang-undang Republik Indonesia No-
mua aspeknya, yaitu pembentukan aspek jasma- mor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
ni, akal, dan hati. Tujuan pendidikan adalah ke- Nasional pada Bab X pasal 37 berisi ketentuan
giatan memberikan pengetahuan agar kebuda- bahwa kurikulum pendidikan dasar dan mene-
yaan dapat diteruskan dari generasi ke generasi ngah wajib memuat pendidikan agama, pendi-
berikutnya (Djumberansyah, 1994:19). Proses dikan kewarganegaraan, bahasa, matematika,
pendidikan terutama pendidikan di sekolah per- ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan so-
lu disesuaikan dengan perkembangan pemikiran sial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan
rasional yang ditandai kemajuan ilmu dan tek- olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan
nologi, tetapi teori-teori ilmu dan teknologi lokal. Kurikulum pendidikan tinggi wajib me-
yang akan disampaikan perlu mempertimbang- muat pendidikan agama, pendidikan kewarga-
kan peningkatan dan martabat manusia. Perma- negaraan, dan bahasa. Kurikulum pendidikan
salahan utama yang dihadapi dalam proses pen- dasar dan menengah serta perguruan tinggi ter-
didikan ialah pemilihan nilai-nilai yang harus sebut tidak mewajibkan pendidikan Pancasila,
dikembangkan dalam diri anak didik (Arifin, sehingga terkesan mengabaikan nilai-nilai hi-
2000:75). dup berbangsa dan bernegara.
Pendidikan seharusnya tetap terpadu den- Undang-Undang Republik Indonesia No-
gan keseluruhan sistem nilai dan norma moral mor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sikap il- Nasional penting dievaluasi. Perumusan sistem
miah yang menjunjung kebenaran rasional dan pendidikan nasional memerlukan berbagai per-
pengabdian kepada kehidupan bermasyarakat timbangan sampai ke landasan-landasan filsa-
merupakan faktor yang penting dalam pembina- fatinya, yaitu landasan-landasan ontologis, epis-
an karakter bangsa. Seorang ilmuwan harus le- temologis, dan aksiologisnya.
bih menitikberatkan penerapan teori yang ber-
guna untuk kepentingan hidup bermasyarakat LANDASAN FILSAFATI PENDIDIKAN
dan berbangsa dibandingkan kepentingan prag- Filsafat Pendidikan adalah cabang filsafat
matis. Nilai-nilai dan norma-norma moral Pan- yang objek sasarannya bidang pendidikan. Fil-
casila berfungsi sebagai landasan dan pengarah safat Pendidikan sesuai pemikiran filsafati yang
bagi perumusan sistem pendidikan nasional un- kritis dan mendalam akan membahas pendidik-
tuk meningkatkan kecerdasan yang memadai an sampai ke hakikatnya. Filsafat Pendidikan
(Tilaar, 2001:4). secara khusus akan membahas landasan-landas-
Sistem pendidikan nasional Indonesia di an ontologis, epistemologis, dan aksiologis pen-
masa sekarang dan untuk masa depan tentunya didikan. Landasan ontologis pendidikan akan
akan bercirikan rasionalitas, tetapi tetap mem- menganalisis hakikat keberadaan pendidikan
pertimbangkan landasan nilai-nilai hidup yang yang terkait dengan hakikat keberadaan ma-
bersumber dari budaya Indonesia sendiri. Nilai- nusia. Landasan epistemologis pendidikan akan
nilai hidup berbangsa dan bernegara perlu men- menganalisis hakikat kebenaran yang terkait
jadi pertimbangan utama dalam merumuskan dengan kebenaran teori-teori pendidikan. Lan-
sistem pendidikan nasional. Nilai-nilai dan nor- dasan aksiologis pendidikan akan menganalisis
ma moral Pancasila yang dijunjung tinggi di In- tentang penerapan teori-teori pendidikan yang
Cakrawala Pendidikan, Juni 2013, Th. XXXII, No. 2
268
terkait dengan tujuan pendidikan, terutama da- yang lebih penting adalah melatih kemampuan
lam hubungannya dengan nilai-nilai dan norma- berpikir rasional. Berpikir adalah penerapan
norma moral (Suharto, 2011:29). cara-cara ilmiah seperti mengadakan analisis,
Landasan aksiologis pendidikan akan pertimbangan, dan memilih di antara beberapa
membekali para pendidik berpikir klarifikatif alternatif yang tersedia. Tujuan pendidikan di-
tentang hubungan antara tujuan-tujuan hidup artikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang
dan pendidikan sehingga akan mampu memberi terus-menerus, yaitu mengadakan penyesuaian
bimbingan dalam mengembangkan suatu pro- dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntut-
gram pendidikan yang berhubungan secara rea- an lingkungan (Brameld, 1999:91).
litas dengan konteks dunia global. Manfaat men- Kedua, esensialisme. Teori esensialisme
dalami landasan aksiologis pendidikan adalah didasarkan pada konsep pendidikan yang ber-
untuk secara konsisten merumuskan landasan sendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yaitu yang
epistemologis pendidikan. Landasan epistemo- hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-
logis pendidikan akan membantu para pendidik nilai yang dijadikan dasar adalah nilai-nilai yang
untuk dapat mengevaluasi secara lebih baik me- telah teruji oleh waktu. Proses pendidikan me-
ngenai tawaran-tawaran teori-teori yang merupa- rupakan perantara atau pembawa nilai-nilai bu-
kan solusi bagi persoalan-persoalan utama pen- daya untuk dibawa masuk ke jiwa anak didik
didikan (Suharto, 2011:43). (Brameld, 1999:204).
Filsafat Pendidikan memiliki empat fung- Ketiga, perenialisme. Teori perenialisme
si, yaitu fungsi spekulatif, normatif, kritis, dan didasarkan pada konsep agar pendidikan kem-
teoritis. Fungsi spekulatif menekankan bahwa bali kepada jiwa pencerahan yang menguasai
Filsafat Pendidikan berusaha memahami berba- abad pertengahan. Jiwa pencerahan abad per-
gai persoalan pendidikan, merumuskannya dan tengahan yang rasional telah menuntun manusia
mencarikan hubungannya dengan faktor-faktor hingga dapat mengerti adanya tata kehidupan
yang mempengaruhi pendidikan. Fungsi norma- yang telah ditentukan secara rasional untuk me-
tif Filsafat Pendidikan adalah sebagai penentu nemukan evidensi-evidensi diri sendiri (Brameld,
arah dan pedoman pendidikan. Fungsi normatif 1999:288).
tersebut meliputi tujuan pendidikan apa yang Keempat, rekonstruksianisme. Teori re-
akan ditentukan, manusia model apa yang ingin konstruksianisme didasarkan pada konsep agar
dicetak dan norma-norma atau nilai-nilai apa anak didik dapat dibangkitkan kemampuannya
yang hendak dibina. Filsafat Pendidikan mela- untuk secara konstruktif menyesuaikan diri de-
kukan fungsi kritis artinya memberi dasar bagi ngan tuntutan perubahan dan perkembangan
pengertian kristis-rasional dalam mempertim- masyarakat modern sebagai akibat pengaruh il-
bangkan dan menafsirkan data-data ilmiah pen- mu pengetahuan dan teknologi. Penyesuaian se-
didikan. Filsafat Pendidikan juga berfungsi teo- perti ini akan membuat anak didik tetap berada
retis, karena senantiasa memberikan ide, kon- dalam suasana aman dan bebas (Brameld, 1999:
sepsi, analisis, dan berbagai teori bagi upaya 296).
pelaksanaan pendidikan. Filsafat Pendidikan me-
nentukan prinsip-prinsip umum bagi suatu prak- AKSIOLOGI DAN HAKIKAT NILAI
tek pendidikan (Suharto, 2011:46). Aksiologi sebagai Cabang Filsafat
Brameld mengelompokkan berbagai pan- Nilai-nilai kebenaran, keindahan, kebaik-
dangan untuk memenuhi fungsi-fungsi Filsafat an, dan religius adalah nilai-nilai keluhuran hi-
Pendidikan berdasarkan teori-teori sebagai beri- dup manusia. Nilai-nilai keluhuran hidup ma-
kut. nusia dibahas oleh cabang filsafat yang disebut
Pertama, progresivisme. Teori progresi- aksiologi. Aksiologi membahas tentang nilai se-
visme didasarkan pada konsep pendidikan yang cara teoretis yang mendasar dan filsafati, yaitu
pada hakikatnya progresif. Pendidikan bukan membahas nilai sampai pada hakikatnya. Kare-
hanya menyampaikan pengetahuan, melainkan na aksiologi membahas tentang nilai secara
Landasan Aksiologis Sistem Pendidikan Nasional Indonesia dalam Persepktif Filsafat Pendidikan
269
filsafati, maka juga disebut philosophy of value yang suci. Nilai kerohanian ini terdiri dari nilai-
(filsafat nilai). Aksiologi adalah cabang Filsafat nilai pribadi, terutama dalam hubungannya de-
yang menganalisis tentang hakikat nilai yang ngan Tuhan sebagai pribadi paling tinggi dan
meliputi nilai-nilai kebenaran, keindahan, ke- suci. Contoh : keimanan dan ketakwaan.
baikan, dan religius (Kattsoff, 1996:327).
Hakikat nilai adalah kualitas yang mele- Norma Moral
kat dan menjadi ciri segala sesuatu yang ada di Nilai kebaikan manusia secara khusus di-
alam semesta dihubungkan dengan kehidupan bahas dalam etika sehingga nilai kebaikan se-
manusia. Nilai bukanlah murni pandangan pri- ring disebut nilai etis. Nilai etis menjadi sumber
badi terbatas pada lingkungan manusia. Nilai nilai bagi penilaian baik atau buruknya manusia
merupakan bagian dari keseluruhan situasi me- sebagai manusia, bukan dalam hubungan de-
tafisis di alam semesta seluruhnya. Pengertian ngan peran tertentu, misalnya sebagai ilmuwan,
nilai apabila dibahas secara filsafati adalah per- seniman, atau pedagang. Etika yang secara khu-
soalan tentang hubungan antara manusia seba- sus membahas nilai kebaikan manusia dalam
gai subjek dengan kemampuan akalnya untuk perkembangannya dapat dibedakan dua macam,
menangkap pengetahuan tentang kualitas objek- yaitu sebagai berikut.
objek di sekitarnya. Kemampuan manusia me- Pertama, etika dipahami dalam pengerti-
nangkap nilai didasari adanya penghargaan yang an yang sama dengan moralitas. Etika berkaitan
dihubungkan dengan kehidupan manusia. Fakta dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara
yang meliputi keseluruhan alam semesta ber- hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau
sama manusia menciptakan situasi yang berni- masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik tersebut
lai. Pernyataan tentang nilai tidak dapat dikata- dianut dan diwariskan dari satu generasi ke ge-
kan hanya berasal dari dalam diri manusia sen- nerasi berikutnya. Kebiasaan hidup yang baik
diri, tetapi kesadaran manusia menangkap se- ini lalu dibakukan dalam bentuk kaidah aturan
suatu yang berharga di alam semesta (Brennan, atau norma yang disebarluaskan, dipahami, dan
1996:215). diajarkan secara lisan dalam masyarakat. Ka-
idah aturan atau norma ini pada dasarnya me-
Hararkhi Nilai nyangkut baik atau buruknya perilaku manusia
Nilai-nilai dalam kenyataannya ada yang (Keraf, 2002:2).
lebih tinggi dan ada yang lebih rendah. Hirarkhi Kedua, etika dipahami dalam pengertian
nilai dikelompokkan ke dalam empat tingkatan yang berbeda dengan moralitas. Etika dime-
(Deeken, 1995:44-47) seperti berikut. Pertama, ngerti sebagai refleksi kritis tentang bagaimana
nilai-nilai kenikmatan. Tingkatan nilai ini me- manusia harus hidup dan bertindak dalam situa-
liputi nilai-nilai kebendaan yang mengenakkan si konkret, situasi khusus tertentu. Etika adalah
secara jasmaniah dan menyebabkan orang se- filsafat moral yang membahas dan mengkaji se-
nang. Contoh: rasa enak setalah makan, atau ka- cara kritis persoalan baik dan buruk secara mo-
rena memunyai uang yang banyak. Kedua, ni- ral, tentang bagaimana harus bertindak dalam
lai-nilai kehidupan. Tingkatan nilai kehidupan situasi konkret. Manusia melakukan refleksi kri-
meliputi nilai-nilai yang penting bagi kehidupan tis untuk menentukan pilihan, sikap, dan bertin-
pribadi dan bermasyarakat. Contoh: keterampil- dak secara benar secara moral sebagai manusia.
an, kesehatan, kesejahteraan perorangan sampai Refleksi kritis ini menyangkut tiga hal. (1) Re-
dengan keadilan bermasyarakat. Ketiga, nilai- fleksi kritis tentang norma moral yang diberi-
nilai spiritual. Tingkatan nilai spiritual meliputi kan oleh etika dan moralitas dalam pengertian
macam-macam nilai kejiwaan yang sama sekali pertama, yaitu tentang norma moral yang dianut
tidak tergantung pada keadaan jasmani. Nilai ke- selama ini. (2) Refleksi kritis tentang situasi
jiwaan ini meliputi kebenaran, keindahan, dan khusus yang dihadapi dengan segala keunikan
kebaikan. Keempat, nilai-nilai kerohanian. Ting- dan kompleksitasnya. (3) Refleksi kritis tentang
katan nilai kerohanian meliputi modalitas nilai berbagai paham yang dianut oleh manusia atau
Cakrawala Pendidikan, Juni 2013, Th. XXXII, No. 2
no reviews yet
Please Login to review.