Authentication
372x Tipe PDF Ukuran file 0.16 MB Source: eprints.uny.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kearifan lokal memiliki hubungan yang erat dengan kebudayaan
tradisional pada suatu tempat, dalam kearifan lokal tersebut banyak
mengandung suatu pandangan maupun aturan agar masyarakat lebih memiliki
pijakan dalam menenukan suatu tindakkan seperti prilaku masyarakat sehari-
hari. Pada umumnya etika dan nilai moral yang terkandung dalam kearifan
lokal diajarkan turun-temurun, diwariskan dari generasi ke generasi melalui
sastra lisan (antara lain dalam bentuk pepatah dan peribahasa, folklore), dan
manuskrip (Suyono Suyatno, 2013). Kearifan lokal yang diajarkan secara
turun-temurun tersebut merupakan kebudayaan yang patut dijaga, masing-
masing wilayah memiliki kebudayaan sebagai ciri khasnya dan terdapat
kearifan lokal yang terkandung di dalamnya.
Pembentukan dan perkembangan budaya sangat mempengaruhi jati
diri bangsa, kesatuan masyarakat berperan serta dalam pembentukkannya.
Menurut Edi Sedyawati (2010: 328), menjelaskan di dalam masing-masing
kesatuan kemasyarakatan yang membentuk bangsa, baik yang berskala kecil
ataupun besar, terjadi proses-proses pembentukan dan perkembangan budaya
yang berfungsi sebagai jati diri bangsa tersebut. Indonesia merupakan negara
yang sangat luas dan dikenal sebagai negara yang multikultur. Keadaan
1
2
Indonesia sebagai negara yang multikultur menyebabkan Indonesia rentan
akan konflik antar daerah. Setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas
budaya masing-masing yang patut untuk dikembangkan dan dijaga
keberadaannya sebagai identitas bangsa agar tetap dikenal oleh generasi
muda. Koentjaraningrat (M. Munandar Soelaeman, 2007: 62) mengatakan
bahwa kebudayaan nasional Indonesia berfungsi sebagai pemberi identitas
kepada sebagian warga dari suatu nasion, merupakan kontinyuitas sejarah dari
jaman kejayaan bangsa Indonesia di masa yang lampau sampai kebudayaan
nasional masa kini.
Masyarakat memiliki peranan penting dalam pembentukan budaya
agar terus bertahan diperkembangan jaman, baik secara langsung maupun
tidak langsung dengan memanfaatkan kemampuannya, sehingga manusia
mampu menguasai alam. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam
buku Soerjono Soekanto (2007: 151), merumuskan kebudayaan sebagai hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi
dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture)
yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan
serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Masyarakat Ponorogo memiliki peran yang terlihat membentuk dan
mengembangkan suatu kebudayaan, sehingga kebudayaan yang ada
menjadikan kekuatan bagi wilayah tersebut. Kebudayaan yang dibentuk dan
dikembangkan di Kabupaten Ponorogo sebagai salah satu ciri khas wilayah ini
3
adalah kesenian Reyog. Kesenian Reyog merupakan salah satu bentuk
kearifan lokal yang memiliki nilai leluhur, namun nilai yang terkandung dalan
kesenian ini hanya diketahui oleh segelintir orang.
Beberapa pendapat yang melatarbelakangi sejarah kemunculan
kesenian Reyog, mulai dari sejarah kerajaan, perkembangan agama, hingga
letak wilayah Ponorogo. Menurut Hartono (1980: 32), keadaan geografis
masa lampau wilayah Kabupaten Ponorogo yang masih belum berkembang,
karena di kelilingi oleh pegunungan melatarbelakangi kesenian ini dapat
muncul. Masyarakat memanfaatkkan keadaan alam yang ada untuk
membentuk budaya yang memiliki nilai dimasyarakat berupa kesenian
Reyog. Ponorogo dikenal sebagai daerah angker dengan dikelilingi hutan
roban sangat lebat dan mengerikan, hutan yang banyak terdapat harimau dan
merak hidup berdampingan pada masa lampau. Hal inilah yang mengetuk hati
seni budayawan daerah untuk melahirkan Reyog Ponorogo sebagai jelmaan
cita-cita leluhur, yaitu bersatunya dua sifat serta watak yang berbeda menjadi
satu pancaran indah dan harmonis.
Reyog Ponorogo adalah lambang persatuan yang penuh damai.
Menurut Isni Herawati (2010: 930), kesenian Reyog Ponorogo merupakan
warisan budaya masyarakat Ponorogo yang sangat tinggi nilainya. Banyak
nilai yang terkadung pada kesenian Reyog syarat akan penuntun kehidupan
bukan hanya sebagai tontonan saja. Nilai yang terkandung terdapat pada
gerakan, alur cerita, dan simbol pada peralatan kesenian. Reyog ini sudah ada
4
sejak jaman Majapahit, dan dapat ditelusuri dari Babad Ponorogo yang
menghasilkan beberapa versi, versi yang diketahui oleh masyarakat luas dan
diterapkan adalah versi Bantaragin yaitu Prabu Klonosewandhono melamar
Dewi Songgolangit.
Kearifan lokal akan tetap bertahan apabila masyarakat tetap
mempertahankan serta melaksanakan pandangan, aturan, nilai, norma yang
ada. Perkembangan budaya ditengah perkembangan jaman kadang membuat
kearifan lokal semakin dilupakan oleh masyarakat, kearifan lokal ada dengan
proses yang sangat panjang dan memiliki nilai-nilai leluhur yang ada
didalamnya dengan adanya kebudayaan sebagai bukti konkrit, namun semakin
lama budaya hanya digunakan sebagai suatu benda ataupun simbol tanpa
memiliki artian penting lagi. Fakta tersebut membuat nilai kearifan lokal yang
terkandung dalam kebudayaan semakin terlupakan oleh generasi berikutnya
yang hanya mementingkan suatu perkembangan tanpa melihat kebudayaan
maupun kearifan lokal.
Masyarakat Ponorogo yang berperan serta dalam proses pelestarian
kesenian Reyog untuk terus mengangkat kesenian Reyog ini makin dikenal di
Indonesia dan di luar Negeri. Banyak wisatawan dari dalam maupaun luar
negeri yang datang untuk melihat pertunjukkan Reyog. Pengenalan kesenian
ini sampai keluar negeri membuat kesenian ini rentan akan peniruan budaya.
Kesenian ini mendapat klaim merupakan bagian dari negara tetangga yaitu
Malaysia. Klaim atas kesenian Reyog mampu merusak nilai kearifan lokal
no reviews yet
Please Login to review.