Authentication
286x Tipe DOCX Ukuran file 1.32 MB Source: abdulwahid79.files.wordpress.com
Makalah : Ikan Dewa dan Budaya Mapag Cai (Kawin Cai) di Kuningan : Bentuk Kearifan Lokal Dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati Untuk Memenuhi Mata Kuliah Keanekaragaman Hayati Dosen : Prof. Johan Iskandar, M.Sc., Ph.D. DISUSUN OLEH : IID MOH. ABDUL WAHID 250120140017 MAGISTER ILMU LINGKUNGAN UNIVERSITAS PADJAJARAN 2015 Iid Moh. Abdul Wahid ( 250120140017) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Keanekaragaman Hayati Sejarah Munculnya Keanekaragaman Hayati Terminologi Keanekaragaman Hayati atau biodiversity merupakan istilah baru yang dimuncul dan dipopulerkan tahun 1986 pada Forum Nasional Keanekaragaman Hayati (National Forum on Biodiversity) di Amerika Seikat. Forum ini diadakan atas prakarsa National Academy of Science dan Smithsonian Institute. Istilah biodiversity sebenarnya bermula dari penggunaan istilah biological diversity. Kata biodiversity berasal dari bahasa Yunani bios yang berarti hidup dan bahasa Latin diversitas yang berarti aneka ragam. Gabungan kedua kata tersebut memunculkan pemaknaan baru, yaitu kehidupan yang beraneka ragam (Utama dan Kohdrata, 2011) Terminologi ini dikemudian hari menjadi suatu konsep dalam konteks perlindungan dan pelestarian alam. Perhatian terhadap persoalan biodiversity muncul karena ledakan populasi manusia yang berimplikasi pada penurunan kondisi lingkungan alam. Pertumbuhan manusia di muka bumi ini menuntut ruang untuk hidup dan juga berbagai sumberdaya alam lain untuk menunjang hidup. Segala aktivitas terkait pemenuhan kebutuhan hidup manusia dapat dianggap sebagai suatu “persaingan” dengan mahluk hidup lain. Sekitar 12% species burung dan 23 % species mamalia berada dalam kondisi terancam punah (Sponsel, 2008 dalam Utama dan Kohdrata, 2011). Keadaan ini tentu mengancam kehidupan manusia di masa mendatang. Pada KTT Bumi tahun 1992 yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Rio De Jainero – Brasil, dilakukan penandatanganan Konvensi Mengenai Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity) oleh 150 negara yang menghadirinya. Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut kemudian menegaskan pengakuannya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati). Penetapan UU ini merepresentasikan pengakuan sekaligus kesadaran pemerintah atas kekayaan sumber daya alam Indonesia yang beraneka ragam dan ancaman ketersediaannya akibat dari kegiatan manusia (Utama dan Kohdrata, 2011). Tugas Keanekaragaman hayati 1 Iid Moh. Abdul Wahid ( 250120140017) Definisi Keanekaragaman Hayati UU No.5 Tahun 1994 mendefinisikan keanekaragaman hayati sebagai keanekaragaman diantara mahluk hidup dari semua sumber, termasuk diantaranya, daratan, lautan dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya; mencakup keanekaragaman di dalam species, antara species dan ekosistem. Definisi tersebut merupakan terjemahan dari definisi biological diversity yang tercantum dalam Convention on Biological Diversity. Keanekaragaman hayati mencakup keragaman gen, species, dan proses ekologi yang membentuk sistem kehidupan di darat, perairan air tawar, dan laut yang saling mendukung dan membentuk keragaman di muka bumi. Implikasi konsep biodiversity adalah kesadaran dan kesepahaman antar negara akan nilai penting dan tanggung jawab bersama dalam menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati tersebut. Menurut Iskandar (2015), Keanekaragaman hayati atau biodiversity adalah total atau keseluruhan keragaman genetika (genetic), jenis (species), dan ekosistem (ecosystem) di suatu wilayah dan pada umumnya keanekaragaman hayati dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu keanekaragaman genetika, keanekaragaman jenis dan keanekaragaman ekosistem (WRI, IUCN, UNEP (1992); Koziell (2001), dalam Iskandar (2015)). 1.2. Kearifan Lokal Kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib (Keraf, 2002). Sebagaimana dipahami, dalam beradaptasi dengan lingkungan, masyarakat memperoleh dan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktivitas, dan peralatan sebagai hasil abstraksi mengelola lingkungan. Seringkali pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat dijadikan pedoman yang akurat dalam mengembangkan kehidupan di lingkungan pemukimannya (Suhartini, 2009) Keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan hidup yang ada dalam masyarakat Indonesia yang diwariskan secara turun temurun menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan Tugas Keanekaragaman hayati 2 Iid Moh. Abdul Wahid ( 250120140017) dapat ditumbuhkan secara efektif melalui pendekatan kebudayaan. Jika kesadaran tersebut dapat ditingkatkan, maka hal itu akan menjadi kekuatan yang sangat besar dalam pengelolaan lingkungan. Dalam pendekatan kebudayaan ini, penguatan modal sosial, seperti pranata sosial budaya, kearifan lokal, dan norma-norma yang terkait dengan pelestarian lingkungan hidup penting menjadi basis yang utama (Suhartini, 2009). Seperti kita ketahui adanya krisis ekonomi dewasa ini, masyarakat yang hidup dengan menggantungkan alam dan mampu menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dengan kearifan lokal yang dimiliki dan dilakukan tidak begitu merasakan adanya krisis ekonomi, atau pun tidak merasa terpukul seperti halnya masyarakat yang hidupnya sangat dipengaruhi oleh kehidupan modern. Maka dari itu kearifan lokal penting untuk dilestarikan dalam suatu masyarakat guna menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dan sekaligus dapat melestarikan lingkungannya. Berkembangnya kearifan lokal tersebut tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor yang akan mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungannya. Menurut Richard Smalley, peraih nobel kimia tahun 2003, dalam Wirananggapati (2015) menyebutkan bahwa salah satu masalah kritis dunia dalam 50 tahun yang akan datang adalah air. Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) menyampaikan bahwa “leuweung ruksak, caik beak, manusa balangsak” yang artinya hutan rusak, air habis, manusia sengsara. Informasi tersebut menunjukkan betapa pentingnya air untuk kehidupan manusia dan bahkan didalam tubuh manusia pun 80% isinya adalah air (cairan tubuh). Upaya konservasi air ini sangat berkaitan erat dengan konservasi keanekaragaman hayati, karena bisa dimaklumi air yang mellimpah dan bersih rata rata diperoleh dari daerah yang mempunyai tumbuhan yang beranekaragaman dan terpelihara secara baik. Berbagai macam bentuk kearifan lokal tersebar diseluruh Indonesia dan sebagian besar merupakan upaya pelestarian pemanfaatan sumber daya alam terutama keanekaragaman hayati yang berkelanjutan, bukan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan generasi sekarang tetapi juga untuk kepentingan generasi yang akan datang. Cara masyarakat Indonesia dalam mensyukuri anugerah yang diberikan Tuhan sangat beragam, keragaman tersebut tercermin sesuai dengan kearifan lokal suku yang melakukannya. Dari beratus suku yang menjadi fondasi kokoh bangsa Indonesia dapat kita ambil salah satunya yaitu suku Sunda. Masyarakat Sunda yang mayoritas adalah masyarakat agraris dan banyak pula yang membudidayakan ternak perikanan, sangat menghargai tiap tetes air yang mengalir. Maka, salah satu daerah yang memiliki tradisi khas dalam menghargai dan mensyukuri tiap bulir air yang mengalir Tugas Keanekaragaman hayati 3
no reviews yet
Please Login to review.