jagomart
digital resources
picture1_Makalah Cerita Jenaka Nusantara Sebagai Bahan Pengayaan Sastra Di Sekolah


 396x       Tipe DOC       Ukuran file 0.12 MB    


Makalah Cerita Jenaka Nusantara Sebagai Bahan Pengayaan Sastra Di Sekolah
makalah untuk seminar internasional bahasa dan sastra uin syarif hidayatullah selasa 29 maret 2016 oleh sastri sunarti badan pengembangan dan pembinaan bahasa kementerian pendidikan dan kebudyaan jakarta kekayaan khazanah sastra indonesia  ...

icon picture DOC Word DOC | Diposting 09 Jan 2022 | 3 thn lalu
Berikut sebagian tangkapan teks file ini.
Geser ke kiri pada layar.
                        Abstrak
           Cerita Jenaka Nusantara Sebagai Bahan Pengayaan Sastra di Sekolah
              Makalah untuk Seminar Internasional Bahasa dan Sastra
                     UIN Syarif Hidayatullah
                     Selasa, 29 Maret 2016
                      Oleh: Sastri Sunarti
                Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
                 Kementerian Pendidikan dan Kebudyaan
                        Jakarta
       Kekayaan khazanah sastra Indonesia dan daerah tidak terbantahkan lagi. Akan tetapi ada tapinya
       yakni kekayaan khazanah sastra daerah itu belum maksimal digali dan dimanfaatkan untuk bahan
       pengayaan pengajaran sastra di sekolah. Salah satu kekayaan sastra daerah itu adalah cerita
       jenaka seperti, kisah Pak Pandir di Sumatera, Kabayan dari Jawa Barat,  atau Joko Bodo di Jawa,
       I Belog di Bali, dan I Pelog di Lombok. Cerita-cerita jenaka seperti ini umumnya disampaikan
       dalam bentuk lisan meski sudah ada beberapa diantaranya diterbitkan dan dialihwahanakan ke
       dalam bentuk lain seperti film dan televisi. Namun, masih banyak yang belum dikembangkan
       dengan baik sebagai aset kekayaan sastra daerah yang menggambarkan kekayaan, keragaman,
       dan kemiripan.  
          Kisah Pak Pandir misalnya disebut dalam berbagai versi di Sumatera. Di Aceh, Kepri,
       Riau, Sumut, Sumbar, Jambi, dan Bengkulu dikenal dengan nama tokoh Pak Pandir. Namun, di
       tempat lain seperti di Bangka Belitung dan Sumatera Selatan tokoh ini lebih dikenal dengan
       nama “Pak Udak”. Selain di kenal di wilayah Indonesia, cerita “Pak Pandir” ini juga dikenal luas
       di alam Melayu seperti Malaysia dan Brunei. Pemanfaatan cerita jenaka seperti ini diharapkan
       dapat menjadi pengetahuan bersama dan pengikat perbedaan antara daerah dan bahkan antar
       negara karena memiliki wacana bersama dalam cerita jenaka Nusantara. Cerita ini disampaikan
       dengan retorika yang sederhana, lucu, dan memuat identitas lokal, serta nilai-nilai karakter
       bangsa yang sesuai dengan pendidikan berbasis karakter sebagaimana yang ingin dicapai dalam
       visi dan misi pengajaran di Indonesia melalui karya sastra. 
       Kata kunci: cerita jenaka nusantara, bahan pengayaan, dan pendidikan karakter bangsa 
       I. Latar Belakang
          Persebaran cerita jenaka yang dikenal luas di alam Melayu (seperti Indonesia dan
       Malaysia) memperlihatkan bahwa batas sosio-politik antara kedua negara tidak berlaku dalam
       hal difusi kebudayaan khususnya budaya Melayu yang meliputi wilayah Indonesia maupun
       Malaysia sekarang ini. Dengan memperhatikan wilayah persebaran cerita jenaka yang dikenal
       luas di kedua wilayah yang sekarang dibatasi secara geografis dan politis ini, mengingatkan kita
       kembali betapa luasnya pengertian budaya Melayu dan betapa cairnya makna Melayu itu
       sendiri. Sebagaimana pernah disampaikan oleh Timothy P Barnard dan H. Maier (2004:x) bahwa
       definisi mengenai Melayu dan alam Melayu amatlah cair dan tidak pernah dibakukan dalam
       satu definisi saja, tetapi memiliki ikatan dalam satu bahasa tertentu yakni bahasa Melayu. 
          Salah satu produk bahasa itu tercermin melalui cerita-cerita jenaka seperti, cerita jenaka
       “Pak Pandir” yang merupakan salah satu tokoh comic yang sangat terkenal dalam tradisi lisan
       masyarakat Melayu, (Sweeney, 1976:15). Adaptasi dari cerita Pak Pandir ini pertama kali
       diterbitkan pada tahun 1908, ditulis oleh penulis Melayu (Malaysia) atas perintah dari
       pemerintah Inggris, yang ditujukan untuk bahan bacaan di sekolah-sekolah dasar kolonial pada
       masa itu. Umumnya versi terbitan ini sudah mengalami modifikasi sesuai permintaan pihak
       kolonial. Cerita jenaka atau humor Pak Pandir dan Mak Pandir Malaysia yang dikenal adalah
       cerita jenaka “Pak Pandir” maka di Bangka Belitung versi yang sama dengan cerita tersebut di
       kenal dengan judul “Pak Udak dan Mak Udak”.  
          Secara umum kita mengetahui bahwa penyebarluasan cerita jenaka disampaikan secara
       lisan. Namun, tidak semua transmisi sebuah cerita lisan selalu diawali melalui tahap lisan lalu
       tulisan. Adakalanya, sebuah cerita lisan awalnya justru berasal dari naskah tulisan yang
       kemudian disampaikan secara lisan, misalnya cerita “Pak Pandir” yang disampaikan oleh
       Sweeney di atas. 
          Keberadaan cerita jenaka yang tersebar luas di kedua wilayah Indonesia dan Malaysia ini
       dapat dilihat sebagai khazanah milik bersama serta menjadi jembatan budaya bagi kedua
       negara yang akhir-akhir ini agak ramai mempersoalkan hak milik atas kekayaan intelektual tak
       benda yang jika dibiarkan berlarut-larut dapat merusak persahabatan yang sudah dibina lama.   
       II. Batasan Cerita Jenaka
       Istilah cerita jenaka menurut Van der Tuuk (dalam Winstedt 1969: 261) berasal dari bahasa
       Sanskerta yakni  jainaka  yang bermakna  orang jaina  atau  orang yang hina. Kata ini sering
       ditujukan kepada seseorang yang sering mengambil keuntungan dari orang lain dengan
       menggunakan akalnya. Misalnya, dalam kisah-kisah Si Kancil yang sering dianggap pahlawan
       karena berhasil memperdayai musuh-musuhnya. 
          Di Semenanjung, yang termasuk dalam kelompok cerita jenaka menurut Winsted dan
       Sturrock (1941) adalah cerita dengan judul Pak Kadok, Pak Pandir, Lebai Malang, Pak Belalang,
       dan  Si Luncai. Di Jawa Barat cerita ini lebih dikenal dengan nama Si Kabayan. Di Jawa tengah
       tokoh ini dikenal dengan nama Joko Bodo, Pak Banjir, dan Pak Dungu (Soejosoesanto, 1963:75-
       81) dan di Bali kita mengenal tokoh ini dengan nama I Belog (Bagus, 1996:269)
          Untuk lebih jelasnya batasan kategori cerita jenaka ini baiklah kita lihat pendapat
       beberapa ahli mengenai istilah ini. R.J. Wilkinson (dalam Jusuf, 1984:5) menyebutkan bahwa
       istilah cerita jenaka ini dikenal juga dengan farce, a practical joke atau farcical, willing. Jumsari
       Jusuf dkk (1984:4-5) menyebut kelompok cerita ini dengan istilah cerita humor. Stith Thomson,
       (1955:482-488) dalam artikelnya yang berjudul “Myths And Folktales” mengelompokkan kisah-
       kisah jenaka seperti yang tersebut di atas ke dalam dongeng dengan kategori lelucon dan
       anekdot (jokes dan anecdotes). Menurutnya dongeng dan lelucon itu pun masih terbagi dalam
       beberapa klasifikasi yakni (1) dongeng mengenai orang-orang pandir (unskull stories), (2)
       dongeng mengenai sepasang suami istri (stories about married a couple), (3) dongeng mengenai
       seorang gadis ( stories about a girl), dan (4) dongeng mengenai seorang laki-laki atau anak laki-
       laki. 
          Sebagaimana telah disampaikan di atas berdasarkan pengelompokan yang dibuat oleh
       Stith Thomson (ibid), cerita “Pak Udak” dari Bangka Belitung dapat dikategorikan sebagai
       dongeng sepasang suami istri atau stories about married a couple. Disebut demikian karena
       dalam cerita Pak Udak tidak hanya mengisahkan mengenai tokoh suami saja melainkan juga
       menampilkan tokoh istri yang bernama  Mak Udak. Bahkan kadangkala dalam versi cerita “Pak
       Udak” yang lain juga ditampilkan tokoh anak laki-lakinya  yang bernama Si Udak. 
       III. Cerita Jenaka sebagai Bahan Ajar di Sekolah 
          Dengan melihat keragaman dan keluasan persebaran cerita jenaka “Pak Pandir” ini,
       sejogyanya   cerita   ini   dapat   menjadi   salah   satu   bahan   ajar   di   sekolah.   Tetapi   dalam
       kenyataannya, cerita jenaka “Pak Pandir” sudah tidak dikenal lagi oleh siswa kita. Mereka lebih
       akrab dengan cerita dongeng “Cinderella”, “Putri Salju”, atau sekumpulan kisah putri-putri
       kerajaan (Princess) yang merupakan ciptaan atau konstruksi dari versi  Walt Disney  dan
       disampaikan dengan beragam cara maupun wahana.  Cerita tentang Princess ala Disney ini amat
       lekat dalam ingatan anak-anak kita sehingga mengalahkan ingatan dan pengetahuan cerita
       jenaka yang sesungguhnya sudah kita miliki ratusan tahun lalu. 
          Kisah-kisah Pak Pandir pernah menjadi cerita yang sangat dikenal luas oleh masyarakat
       di Nusantara. Ketika kecil saya masih mendengar cerita ini dan disampaikan secara lisan oleh
       karib-kerabat maupun orang tua. Cerita ini biasanya disampaikan pada saat sedang berkumpul
       dengan keluarga dan posisi tukang cerita akan muncul secara spontan dari salah satu anggota
       keluarga. Cerita “Pak Pandir” pada saat itu masih menjadi ‘pengetahuan’ yang siap pakai dalam
       ingatan masyarakat tradisional seperti di Minangkabau pada tahun-tahun 70 -an. 
          Namun, seiring berkisarnya zaman kehadiran medium baru seperti radio, televisi,
       komputer, telepon gengggam, dan  gadget  lain cenderung menghapuskan medium lama
       sebagaimana disampaikan oleh Walter J. Ong (1983). Tradisi bercerita atau bersenda gurau
       secara berkelompok mulai menghilang dan digantikan oleh surat kabar, radio, telepon, dan
       televisi. Gaya hidup masyarakat modern membuat manusia menjadi semakin individual dan
       semangat kebersamaan yang merupakan salah satu ciri dari masyarakkat tradisional (lisan)
       mulai ditinggalkan. Mendengarkan cerita secara komunal sebagai salah satu bentuk bersastra
       tidak lagi menjadi kebutuhan melainkan membaca atau menonton televise dan film di bioskop
       yang menggantikannya. Namun, sayang perubahan kelisanan menuju keberkasaraan tinggi itu
       terutama di kalangan anak muda kita tidak diikuti dengan persiapan bahan sastra yang sesuai
       dengan  identitas bangsa. Sehingga anak-anak kita sejak dini sudah diserbu oleh cerita-cerita
       yang bukan berasal dari budaya dan tradisi lokal. Di sinilah pentingnya mengenalkan kembali
       cerita-cerita rakyat Indonesia yang sangat kaya seperti, cerita “Pak Pandir”, “I Belog”, “Joko
       Bodo”, maupun “si Kabayan” dalam format yang lebih kekinian. Alih wahana cerita “Pak Pandir”
       ke dalam bahan ajar perlu dilakukan dalam bentuk buku cerita, VCD, drama, film, atau wahana
       lain sebagaimana Disney mengulang dan mentransformasi cerita Princess yang bersumber dari
       folktale Eropa. 
          Cerita jenaka yang kaya ragam dan versinya itu   masih dapat disampaikan dalam
       beragam wahana yang lebih dekat dan akrab bagi siswa kita. Cerita ini layak dikenalkan kepada
       siswa karena menggambarkan identitas dan karakter bangsa. Hal ini sejalan dengan pendapat
       Riris K. Toha Sarumpaet (2007: 30-31) yang menyatakan bahwa penting untuk memperkenalkan
       sebanyak mungkin variasi dan jenis karya sastra di tingkat sekolah dasar, agar dapat dibaca dan
       dinikmati oleh siswa. Para ahli psikologi menyebutkan bahwa anak usia SD sudah memiliki
       kemampuan kognitif dalam bernalar (meski awalnya masih bersifat induktif), bisa mengingat,
       menggunakan kalimat yang semakin kompleks, dan semakin sosial.  Cerita jenaka merupakan
       wadah bagi siswa untuk belajar menggunakan wacana yang awalnya sederhana tetapi kaya
       dengan ajaran dan nilai yang berguna seperti nilai kejujuran, kepatuhan, toleransi, dan
       kesederhanaan. Sudah lama pendidikan kita melupakan kekayaan khazanah sastra tradisional
       dan hanya menjadikan sekolah sebagai tempat balapan antara guru dan siswa dalam mencapai
       nilai yang tinggi untuk lulus dalam ujian apapun namanya (UAS, UN, Atau campuran keduanya).
       Hal ini ternyata tidak terjadi baru-baru ini melainkan sudah berlangsung lama dalam dunia
       pendidikan kita sebagaimana yang ditenggarai oleh Ki Mangoensarkoro (1954) berikut ini.
           “Bab-bab pengajaran   kesenian   terdesak   hilang   dari   daftar   pengajaran,
           pimpinan pemberian pandangan hidup ditinggalkan, akhirnya sekolah itu
Kata-kata yang terdapat di dalam file ini mungkin membantu anda melihat apakah file ini sesuai dengan yang dicari :

...Abstrak cerita jenaka nusantara sebagai bahan pengayaan sastra di sekolah makalah untuk seminar internasional bahasa dan uin syarif hidayatullah selasa maret oleh sastri sunarti badan pengembangan pembinaan kementerian pendidikan kebudyaan jakarta kekayaan khazanah indonesia daerah tidak terbantahkan lagi akan tetapi ada tapinya yakni itu belum maksimal digali dimanfaatkan pengajaran salah satu adalah seperti kisah pak pandir sumatera kabayan dari jawa barat atau joko bodo i belog bali pelog lombok ini umumnya disampaikan dalam bentuk lisan meski sudah beberapa diantaranya diterbitkan dialihwahanakan ke lain film televisi namun masih banyak yang dikembangkan dengan baik aset menggambarkan keragaman kemiripan misalnya disebut berbagai versi aceh kepri riau sumut sumbar jambi bengkulu dikenal nama tokoh tempat bangka belitung selatan lebih udak selain kenal wilayah juga luas alam melayu malaysia brunei pemanfaatan diharapkan dapat menjadi pengetahuan bersama pengikat perbedaan antara bah...

no reviews yet
Please Login to review.