Authentication
556x Tipe PDF Ukuran file 0.68 MB
Pendidikan karakter
Pendidikan Karakter
Secara umum terdapat berbagai teori mengenai pendidikan karakter. Dalam penulisan ini,
penulis memilih pendidikan karakter beraliran pragmaisme yang dikembangkan secara
khusus di Indonesia oleh pakar pendidikan Doni Koesoema.
Promoting the curriculum philosophy which has it main purpose to reconstruct our society to be
better, more just than the existed one, is still very rare in my country.1
Sebagai suatu bangsa dengan latar belakang dan aneka kebudayaannya, Indonesia memiliki
kekhasan tersendiri. Maka kebutuhan dan kecocokan suatu metode pendidikan manusia
Indonesia juga menjadi hal yang penting dalam pendidikan karakter. Dari berbagai aliran atau
teori pendidikan karakter yang ada, sebagai salah satu putra bangsa Indonesia, Doni
Koesoema menawarkan teori pendidikan karakter yang khas untuk bangsa Indonesia.
Maksudnya teori yang ditawarkan menjadi kebutuhan pendidikan manusia Indonesia. Inilah
alasan yang melatarbelakangi pemilihan teori ini. Dengan pendidikan karakter khas bangsa
Indonesia, maka tujuan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat tercapai.
Filsafat dan Teori yang Melatarbelakangi
Filsafat Pragmatisme
Dalam filsafat, teori pendidikan karakter yang ditawarkan Doni Koesoema berada dalam
kelompok mazhab pragmatisme yang lahir di Amerika. Salah satu tokohnya ialah John
Dewey (1859-1952). Pragmatisme (atau juga disebut eksperimen) lahir seiring dengan
fenomena perkembangan industrialisasi, urbanisasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan
eksperimen seperti dalam biologi. Pragmatisme menekankan eksperimen sains, perubahan
tata dunia dan peroblematikanya. Dalam dunia pendidikan, melalui Democracy and
Education, John Dewey mengembangkan pemikiran pragmatisme secara luas dalam abad ke
20. Pemikiran pragmatisme kemudiam mempengaruhi pemikiran progresivisme.
Penganut pragmatis mengklaim bahwa ada semacam keteraturan dalam realitas. Antara
pikiran dan realitas bukanlah dua hal yang terpisah dan bebas. Seseorang hanya dapat
mengetahui sesuatu hal sebagaimana mereka alami dan bagaimana refleksi atas pengalaman
1 Doni Koesoema “My philosophy Education” dalam http://albertdoni.blogspot.com/search?updated-max=2009-
09-01T21%3A13%3A00-07%3A00&max-results=1. Diakses 30 Oktober 2014.
itu dalam pikirannya.2 Bagi penganut pragmatisme, pengetahuan berakar pada pengalaman.
Seseorang belajar dari jalinan pengalamannya dengan dunia di sekitarnya. Dalam kaitannya
dengan pendidikan, seorang pelajar belajar melalui pengalamannya atau apa yang dialaminya
dalam lingkungan sekitarnya. Hal ini senada dengan yang dikatakan Doni Koesoema,
seorangpemikir pendidikan karakter Indonesia, dalam tulisannya “My Philosophy of
Education’. Di sana dikatakan bahwa: The best methods are experience method, learning by
experience through exposure, laboratory work, live in, or direct observation in a real sosial
living,… .3
Teori Rekonstruksi
“Education for sosial reconstruction would be the line for developing my curriculum
philosophy.In that philosophy, I believe that schooling is to develop the intellectual dimension
of the students in a way that through this knowledge they could understand and perceived better
who they are and their society so that the students might participate to construct it actively.”4
Teori yang ditawarkan oleh Doni Koesoema termasuk dalam aliran rekontruksi. Aliran teori
Rekonstruksi merupakan perkembangan lebih lanjut dari progresivisme dan bersumber dari
filsafat pragmatisme. Progresivisme dalam teori pendidikan lahir sebagai reaksi atas model
pendidikan tradisional yang menekankan metode formal dalam instruksi-instruksi,
pembelajaran mental, dan kesusastraan klasik dari peradaban barat.5 Freud, salah satu tokoh
progresif, mengungkapkan lingkungan belajar yang terbuka di mana anak dapat
merealisasikan energi dorongan insting dalam cara yang kreatif.6
Rekonstruksi lahir dari latar belakang krisis yang terjadi pada tahun 1930 an.
Persoalan-persoalan seperti kapitalisme, totalitarianisme di Eropa dan Asia, kegelisahan
sosial, kelaparan. Pada masa itu, bahkan demokrasi Amerika dikatakan berada dalam saat-
saat terakhirnya. Maka muncul usaha untuk membaharui tata sosial, ekonomi, dan juga
prinsip-prinsip demokrasi politik yang ada. Perubahan itu dimulai dari tingkat taman kanak-
kanak hingga tingkat perguruan tinggi. Orang diajak untuk keluar dari mentalitas budak,
secara bebas meraih kekuatan. Beberapa karya Theodore Brameld seperti Patterns of
Educational Philosophy (1950) Toward a Reconstructed Philosophy of Education (1956),
2 George R. Knight, Issues & Alternatives in Educational Philosophy, Michigan: Andrews University press,
1982: 60-61
3 Doni Koesoema, “My Philosophy Education”, dalam http://albertdoni.blogspot.com/search?updated-
max=2009-09-01T21%3A13%3A00-07%3A00&max-results=1 . Diakses 30 November 2014.
4 Ibid.
5 George R. Knight, Op. Cit. hlm. 80.
6 Ibid. hlm 81.
dan Education as Power (1965) dapat menjadi contoh usaha merekonstruksi tata sosial yang
ada.7
Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang, memiliki sistem politik dan juga tata
sosial yang khas. System sosial dan politik yang belum beres menjadi problematika
tersendiri. Hal yang sama diamati oleh Gereja Katolik Indonesia sehingga mengeluarkan
Nota Pastoral (2006) perlunya suatu habitus baru untuk memperbaiki keadaban bangsa demi
kesejahteraan bersama. Maka Doni Koesoema hadir dengan teori pendidikan karakternya
untuk bangsa Indonesia agar kehidupan bangsa menjadi lebih baik. Hal itu dapat dicapai
melalui pendidikan karakter yang khas dan sesuai dengan bangsa Indonesia. Doni Koesoema
percaya bahwa melalui pendidikan, individu-individu dapat terlibat dalam mengkonstruksi
kehidupan sosial bangsa Indonesia.
Arti Pendidikan Karakter
Menurut Pengertian karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakter
merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang
dengan yang lain, tabiat, dan watak.8 Secara etimologis, karakter berasal dari kata Yunani,
yaitu “karasso” yang berarti ‘cetak biru’, format dasar, dan ‘sidik’.9 Dalam The Character Of
Man, sebagaimana yang kutip oleh Doni Koesoema, Mounier mengajukan dua interpretasi
karakter. Pertama, karakter dilihat sebagai sesuatu yang terberikan (given) begitu saja.
Kedua, karakter sebagai tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai
kondisi tersebut (willed). Dalam arti kedua ini, karakter merupakan sesuatu yang
dikehendaki.10
Dari kedua pengertian itu dapat dilihat bahwa karakter merupakan sesuatu yang
terbawa dari lahir. Dalam pengertian ini terkandung makna bahwa manusia memiliki
keterbatasan untuk campur tangan di dalam karakternya. Semuanya seperti sudah tertentukan
begitu saja. Akan tetapi berbeda dengan pengertian pertama, pengertian karakter yang kedua
hendak menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak untuk mengatasi keterbatasan
dirinya yang telah ada. dalma pengertian ini terkandung makna bahwa manusia mampu
7 George, Op. Cit. Hlm. 101-102
8 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa:
Departemen Pendidikan dan kebudayaan), hal. 389.
9 Doni Koesoema, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Grasindo, 2007,
hlm. 90.
10 Ibid. hlm. 90-93
mengatasi dan turut campur atas kondisi naturalnya. Dengan kata lain, karakter merupkan
suatu proses yang dikehendaki secara bebas.
Dari kedua pengertian yang ambigu tersebut, pertanyaannya ialah manakah pengertian
yang benar mengenai karakter? Kedua-duanya benar. Doni Koesoema kemudian
merumuskan pendidikan karakter sebagai berikut :
Usaha sadar manusia untuk mengembangkan keseluruhan dinamika relasional antar pribadi
dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya, agar pribadi itu
semakin dapat menghayati kebebasannya sehingga ia dapat semakin bertanggung jawab atas
pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka
berdasarkan nilai-nilai moral yang menghargai martabat manusia.11
Paradigma Pendidikan Karakter
Dalam Pendidikan Karakter dikatakan bahwa pendidikan karakter merupakan suatu
pedagogi. Sebagai suatu pedagogi, fungsi pendidikan karakter ialah mendampingi individu
dalam pembelajaran. Paradigma pendidikan karakter merupakan sebuah proses
pendampingan terhadap indvidu yang berlangsung secara terus menenrus. Pendidikan
karakter berlangsung seumur hidup, proses belajar seumur hidup manusia.
Pedagogi sendiri berkembang pada abad pertengahan dan berperan dalam
pembentukan tatanan sosial masyarakat. Pedagogi ini kemudian semakin berkembang
menjadi suatu metodologi pembelajaran. Pendidikan karakter sebagai suatu pedagogi hendak
memberikan tiga hal penting bagi individu pembelajar, antara lain perkembangan
kemampuan kodrati manusia secara unik tiap individu, mengarahkan manusia pada nilai-nilai
sosial, dan menumbuhkan kehidupan moral yang dewasa dan utuh bagi setiap individu.
Secara ringkas dapat dikatakan pendidikan karakter hendak mengarahkan manusia pada
perkembangan secara individu, sosial, dan moral.12
Ada dua pendekatan paradigma karakter yang akan diuraikan di sini, yakni paradigma
makro dan paradigma mikro:
13
1. Makro (Educational Happenings)
Pengembangan karakter secara makro terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi hasil. Pada tahap pertama, perangkat karakter dirumuskan dengan
berbagai sumber antara lain (1) filosofis: Pancasila, UUD 1945, dan UU N0.20 Tahun 2003
11 Doni Koesoema, Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh. Yogyakarta: Kanisius, 2012, hlm. 57.
12 Doni Koesoema, Pendidikan Karakter: Strategi… hlm. 237-148.
13 Kemendiknas, Kerangka Acuan Pendidikan Tahun Anggaran 2010, Jakarta: Direktorat Ketenagaan.
Direktorat Jenderal Pendidikan TInggi Kementrian Nasional, 2010, hlm. 23-25.
no reviews yet
Please Login to review.