Authentication
471x Tipe DOC Ukuran file 0.15 MB Source: 2010
1. RESOLUSI PALANGKARAYA: Tidak ada hak adat, tidak ada REDD (p.1)
2. YPD LETTER TO AUSTRALIAN DELEGATION (Yayasan Petak Danum) (p.7)
3. Hentikan Proyek REDD Indonesia – Australia Di Wilayah Adat Dayak Kalimantan Tengah (Masyarakat adat Kabupaten Kapuas) (p.10)
Stop the Indonesia – Australia REDD+ Project (Masyarakat adat Kabupaten Kapuas - EN) (p.12)
4. Sikap AMAN Kalteng Mengenai REDD+ dan RTWP (AMAN) (p.13)
Indigenous Peoples’ organisation demands “immediate moratorium” on REDD+ in Central Kalimantan (AMAN - EN) (p.17)
5. Siaran Pers: Aliansi Masarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah (p.20)
RESOLUSI PALANGKARAYA: Tidak ada hak adat, tidak ada REDD
Kamis, 30 Desember 2010 21:25
No Rigths – No REDD
Kebijakan Perubahan Iklim - REDD Kalimantan Tengah
Palangkaraya, 17 Desember 2010
Resolusi Pelangkaraya, 17 Desember 2010, hasil dari proses Dialog dan Lokakaya Kebijakan Program Perubahan Iklim – REDD dan Hak Masyarakat Adat di
Kalimantan Tengah. Agenda ini melibatkan + 100 peserta dari para pihak terdiri dari Wakil Pemerintah Pusat (Dewan Nasional Perubahan Iklim - DNPI),
Perusahaan Daerah, Perguruan Tinggi Universitas Pelangkaraya, CINTROP Unpar, Lembaga Adat Provinsi-Kabupaten, Kadamangan, Tokoh-tokoh Adat,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Rakyat, Pelajar dan Mahasiswa Kalimantan Tengah.
Agenda 16 dan 17 Desember 2010, merefrensi ke dialog tingkat Kecamatan Mantangai (10-11 November 2010) dan Kabupaten Kapuas (2-3 Desember 2010).
Bahwa sesungguhnya sumberdaya gambut setiap jengkal tanah, hutan, danau-danau, sungai-sungai, rawa-rawa dan kebun-kebun mengalirkan darah
kami dan generasi sejak berabad-abad, menciptakan teknologi dan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan untuk pengelola sumberdaya gambut -
dalam wujud kebun karet, kebun rotan, kebun purun, kebun pantung, hutan adat, sungai, tatah, handil, beje, danau yang mengalir dalam nafas
kehidupan kami memberikan manfaat bagi pendidikan, kesehatan, kebudayaan yang miliki batas-batas yang melindungi kedaulatan dan kemerdekaan
hak-hak kami menjaga wilayah gambut tetap lestari. (….sumber teks Piagam Gambut, 4 Desember 2010).
Resolusi palangkaraya ini menjelaskan gambaran sesungguhnya sedang terjadi upaya yang sangat kuat dan sistematis dari Negara-negara maju melalui
kerjasama bilateral dan multilateral melalui proyek pembangunan rendah karbon atau REDD di Kalimantan Tengah, mengancam kehidupan masyarakat adat
atas hak-hak pengelolaan sumberdaya alam gambut. Ini bentuk baru dari upaya penggusuran dan mengalihkan hak masyarakat adat dari akses dan kekayaan
hutan gambut di Kalimantan Tengah. Sehingga, masyarakat adat mendesak untuk tidak melanjutkan proyek REDD bila tidak mengakui hak-hak masyarakat
1
adat – tidak ada hak adat, maka akan pernah tidak ada REDD.
Indonesia memiliki kawasan tropika basah hutan rawa gambut yang cukup luas. Selain kaya akan keanekaragaman hayati, setengah dari seluruh kawasan
hutan rawa gambut merupakan sungai-sungai, danau-danau dan vegetasi hutan rawa yang endemic, mempunyai keunikan airnya berwarna hitam dikenal
ekosistem air hitam. Karena kemampuannya untuk menyimpan air dalam jumlah besar, hutan rawa gambut berperan penting dalam mengurangi banjir dan
menjamin pasokan air berkelanjutan. Data DepHut Tahun 1997, lahan gambut Indonesia, sekitar 38 juta hektar, meliputi Sumatera, Jawa, Sulawesi,
Kalimantan dan Papua. Pulau Kalimantan memiliki luas gambut + 5 juta hektar, 3,1 juta hektar terdapat di Kalimantan Tengah.
Perubahan iklim adalah buah dari kegagalan pembangunan di negara maju dalam memproduksi emisi (pencemaran udara) dari proses ekploitasi
sumberdaya alam dan pengembangan teknologi yang menghasilkan mesin produksi, otomotif, pertanian, perkebunan, rumah tangga dlsb. Berdasarkan
Protokol Kyoto, Negara Industri dalam satu decade saja, emisi karbon dioksida (CO2) mereka tak banyak turun. Negara Amerika 20,6, Kanada 20,0, Australia
16,2 Rusia 10,6, Inggris 9,8, Malaysia 7,5, Prancis 6,0 China 3,8 dan Indonesia hanya 1,7 ton perkapita. Dampak dari perubahan iklim ini memberikan
tekanan terhadap kehidupan manusia, salah satu contohnya, naiknya suku udara, naiknya permukaan laut, gelombang, kekeringan, krisis air sampai wabah
penyakit yang meluas. Dampak ini pada umumnya di terima oleh; masyarakat adat, nelayan, petani, buruh, anak-anak, perempuan dan sector-sektor
informal dan krisis berkepanjangan.
Salah satu dari program kerjasama IAFCP ini adalah proyek REDD (Reduction Emission from Deforestatiton And Degradation atau Pengurangan emisi
melalui pengurangan kerusakan Lahan Hutan Dan Penghindaran Penggundulan Hutan), diberi nama Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) dan
berlokasi di kawasan Eks Proyek Lahan Gambut di Kalimantan Tengah, direncanakan seluas 120.000 hektar – terletak di 14 Desa/Dusun Kecamatan
Mantangai – Kecamatan Timpah Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah. Proyek ini bertujuan untuk melindungi dan merehabilitasi kawasan hutan gambut
yang rusak. Kemudian rencana proyek iklim skema lain di Kalimantan Tengah, model Restorasi hutan seluas 250.000 hektar di wilayah Kabupaten Katingan.
Kebijakan perubahan iklim di Kalimantan Tengah bertentangan dengan kebijakan pemberian ijin perkebunan kelapa sawit skala besar meng-konversi hutan
di eks PLG + 360.000 hektar yang di bagikan kepads 23 unit perusahaan, dan ijin pertambangan lainnya. Praktek ini indikasi kuat pelanggaran hukum (UU
32/2009) dan tindak pidana korupsi. Selain di eks PLG, proses perijinan usaha tambang yang mengkonversi hutan juga terus di keluarkan oleh Pemerintah di
banyak tempat.
Dalam merespon terjadinya perubahan iklim, inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya gambut sejak turun temurun, merupakan bentuk Mitigasi
dan Adaptasi sampai saat ini belum mendapat pengakuan dan penghargaan sebagai solusi krisis iklim baik dari pemerintah, perguruan tinggi dan dunia
international– justru sebaliknya – hak-hak masyarakat. Atas pengetahuan, kearifan, hukum adat serta kekayaan alam gambut terancam dan di gusur oleh
hadirnya program perubahan iklim dengan skema REDD (120.000 hektar) dan perkebunan kelapa sawit sekala besa (380.000 hektar), Areal Konservasi BOSF
Mawas (377.000 hektar). Inisiatif ini juga memiliki landasan hak-hak atas pengelolaan sumberdaya alam gambut yang secara turun temurun berjalan dengan
sistem dan pengetahuan tradisional yang di yakininya berdasarkan aturan lokal (hukum adat) yang berlaku. Hak-hak atas sumberdaya alam, hak atas
menentukan nasib sendiri telah mendapat pengakuan penuh di tingkat PBB (UNDRIP) dan Konstitusi Negara Indonesia – bahkan menjadi satu kesepakatan
pertemuan Tumbang Anoi 1894. Inisiatif masyarakat dilandasi Hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya alam baik secara tradisi maupun budaya telah
2
melekat sejak di lahirkan sebagai Hak Asasi Manusia untuk menentukan hidup dan kehidupannya secara turun temurun.
Proses implementasi kebijakan perubahan iklim di Kalimantan Tengah, ditemukan indicator dan fakta yang kuat proyek ini telah melakukan beberapa hal
yang menyangkut informasi dan kegiatan, diantaranya:
1. Proyek KFCP ini didanai oleh International Forest Carbon Initiative (IFCI), sebesar 30.000.000 dollar Australia. Komponen utama kegiatan, antara lain:
sosialisasi REDD, pemantauan dan pengukuran baseline emisi GRK, pengembangan mekanisme pembayaran, peningkatan kapasitas manajemen dan teknis
REDD serta kesiapannya.
2. Sejauh ini, informasi dari inisiatif proyek KFCP dan pembangunan rendah karbon tidak banyak diketahui publik luas, apalagi komunitas dikawasan hutan
gambut yang terancam akan terpengaruh oleh proyek tersebut.
3. Implementasi Proyek REDD dimulai dengan Uji coba demontrasi, telah berjalan sejak tahun 2008 sampai saat ini (2010) mulai dari pekerjaan persiapan
adminsitrasi sampai implementasi kegiatan di tingkat lapangan meliputi 14 Desa/Dusun Kecamatan Mantangai dan Kecamatan Timpah Kabupaten Kapuas.
4. Melakukan rencana pembuatan tabat (penutupan pada jaringan tata air) berupa tabat (saluran tata air tradisonal yang dibuat masyarakat) pada 13 tatas
yang berada di wilayah hak masyarakat adat.
5. Masyarakat setempat (14 Desa/Dusun) khawatir proyek REDD akan mengulangi permasalahan yang di hadapi. Pengalaman masyarakat dalam proyek
pembangunan PLG 1 hektar di lahan gambut yang gagal, proyek konservasi BOSF Mawas, Proyek Wetland International, Proyek CARE International dan
proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit dan sebagainya tidak membawa hasil dan manfaat berarti bagi masyarakat setempat, lebih cendrung
merusak fungsi social, ekonomi budaya dan ekologi lingkungan dan tatanan kehidupan masyarakat adat setempat.
6. Melakukan kegiatan pemetaan wilayah desa, penyuluhan, pembentukan kelompok kerja di desa, pembayaran tenaga kerja yang terlibat dalam proyek ---
mendapatkan uang bagi penduduk dan penanaman pohon reforestasi seluas 25 hektar yang di rencanakan, dan baru 8 hektar yang di tanam di desa
Mantangai Hulu.
7. Pelaksana proyek telah melakukan tekanan dan intimidasi terhadap warga yang tidak setuju dengan kehadiran proyek perubahan iklim REDD di
Kecamatan Mantangai, karena proyek REDD ini mengancam hak-hak adat masyarakat setempat khususnya, umumnya masyarakat di 14 Desa/Dusun.
8. Tekanan dunia international atas Indonesia untuk persoalan isu perubahan iklim sangat kuat, sehingga Indonesia sebagai Negara yang kaya sumberdaya
alam, dan memiliki kemampuan untuk posisi tawar tidak berdaya, sehingga mengeluarkan kebijakan sentralistik dan di paksakan agar mendapat dukungan
pendanaan karbon
9. Mekanisme pembayaran pengurangan emisi yang di hasilkan melalui mekanisme fiscal (keuangan Negara) seperti Dana Alokasi Khusus (DAK), dana pihak
3
ketiga, penyertaan pada alokasi APBN-APBD – ada peluang pengalihan dana kepada yang tidak berhak (atau kepentingan lain) atau indikasi korupsi.
10. Pandangan proyek perubahan iklim – REDD atas fungsi hutan hanya berfungsi sebagai penyerap karbon. Tetapi fungsi-fungsi hutan sebagai fungsi social,
fungsi ekonomi, fungsi budaya, hukum dan politik kewilayahan bagi masyarakat adat.
Situasi tersebut diatas,kebijakan perubahan iklim – REDD ini membawa dampak pada hak masyarakat adat dan pengetahuannya dalam pengelolaan
sumberdaya gambut di Kalimantan Tengah, antara lain:
1. Posisi masyarakat adat dalam proyek kebijakan perubahan iklim hanya sebagai OBYEK dari sebuah scenario besar duna (sindikat) perdagangan karbon dan
pencucian dosa-dosa negara kaya.
2. Status areal atau penetapan kawasan REDD adalah status kawasan Lindung, Taman Nasional, Restorasi yang menutup akses dan harus bebas dari
kehadiran masyarakat.
3. Proyek Perubahan Iklim – REDD menciptakan Konflik baru sumberdaya alam di tingkat bawah, contohnya: konflik horisontal antara masyarakat dengan
masayarakat, konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah hak-hak atas tanah dan sumberdaya alam – sementara negara penghasil emisi tidak
bertanggungjawab.
4. Ancaman atas hak-hak masyarakat adat terhadap upaya pengalihan penghidupan masyarakat dari hutan – atau dikeluarkannya hak dan akses masyarakat
dari sumberdaya hutan untuk beralih pada mata pencaharian lain.
5. REDD model baru untuk menggusur masyarakat dari akses sumberdaya hutan – setelah model Hutan Lindung, Taman Nasional dan Kawasan Cagar Alam.
Menetapkan sebuah resolusi Palangkaraya pada tanggal 17 Desember 2010 dengan mempertegas pernyataan dan rekomendasi bagi para pihak sebagai
berikut:
1) Keberadaan proyek perubahan iklim yang sesungguhkan tidak memberikan manfaat bagi masyarakat adat setempat – justru sebaliknya mengancam hak
masyarakat akan kehilangan aksesnya, maka proyek REDD tolak kehadirannya. Dan masyarakat berhak untuk mengajukan model lain di luar skema REDD
yang dapat menjamin kehidupan masyarakat local yang di kelola secara mandiri dan berdaulat.
2) Negara-negara maju dan Pemerintah Indonesia sebaiknya belajar pada inisiatif masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya gambut merupakan
salah satu pilihan tepat dalam solusi krisis iklim global. Sebagaimana telah dilakukan oleh masyarakat dalam proses Adaptasi dan Mitigasi dengan cara :
menanam pohon, merehabilitasi dan menjaga hutan adat, bertani padi sawah, merehabilitasi kebun rotan, karet, membuat kolam beje dan keramba,
membuat sekat bakar tradisional, membangun rumah terapung, rumah panggung, dan meramal situasi dan kondisi desa kedepan berdasarkan
pengetahuan-keariafan local untuk tetap menjaga keberlanjutan sumberdaya gambut.
4
no reviews yet
Please Login to review.