Authentication
564x Tipe PDF Ukuran file 1.82 MB Source: 2010 Penetapan Business as Usual Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Kehutanan
Kementerian Kehutanan ISSN : 2085-787X
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan
Policy
PENETAPAN
Volume 4 No. 2 Tahun 2010 BUSINESS AS
Daftar Isi USUAL
Profil Emisi Sektor 2 EMISI GAS RUMAH KACA
Kehutanan SEKTOR KEHUTANAN:
Sumber Emisi Sektor 3
Kehutanan
Sumber Serapan/ 3 seberapa
Penambahan Stok Carbon
Hutan
Pendekatan dalam 3 pentingkah
Penetapan BAU
Penutup 8
ada saat Presiden RI menyatakan target nasional
untuk menurunkan emisi 26% atau 14% untuk
P sektor kehutanan sampai tahun 2020, pertanyaan
pertama yang muncul antara lain adalah dapatkah target
tersebut dicapai atau apakah target tersebut realistik?
Sebenarnya permasalahannya bukan pada angka target
26% atau 41% tetapi realistik/tidaknya target tersebut
akan sangat tergantung pada angka BAU yang digunakan.
Kehutanan yang dalam konteks perubahan iklim dimasukan dalam kategori
LULUCF (Land use, land use change and forestry), atau kemudian dikenal
dengan AFOLU (Agriculture, Foretsry and Land Use) memainkan peranan
penting dalam siklus karbon global. Emisi GRK sektor kehutanan dari Indonesia,
masih yang terbesar dibandingkan dengan sektor lain atau 48%. Indonesia
berkomitmen untuk menurunkan tingkat emisi 26% sampai tahun 2020, sehingga
kontribusi penurunan emisi dari sektor kehutanan menjadi sangat penting.
Tim Penulis : Ari Wibowo, Mega Lugina, Indartik, Nunung Parlinah, Kirsfianti L. Ginoga dengan Nara Sumber Nur Masripatin
Berdasarkan hasil inventarisasi gas rumah kaca (GRK) nasional yang menggunakan base-
year tahun 2000 (2nd National Communication, 2009), sektor kehutanan merupakan
pengemisi GRK (net emitter) yang umumnya berasal dari deforestasi dan degradasi serta Sumber Emisi Sektor Kehutanan
kebakaran hutan termasuk gambut. Disisi lain, sektor ini juga mempunyai potensi besar Dari hasil inventarisasi dengan base-year tahun 2000 diketahui bahwa sumber emisi utama
untuk menyerap GRK (removal) melalui penanaman pohon dan pertumbuhan hutan. sektor LULUCF adalah deforestasi, kebakaran gambut dan lahan gambut yang diolah.
Berbagai kegiatan penanaman telah dilakukan di Indonesia jauh sebelum isu perubahan Diperkirakan sampai dengan tahun 2020 deforestasi masih akan terjadi karena kebutuhan
iklim berkembang. Penanaman melalui pembangunan hutan tanaman dari tahun 1989 pembangunan dan berbagai aktivitias manusia, apabila tidak ada intervensi kebijakan
hingga tahun 2004 telah mencapai 3,25 juta hektar (Dephut, 2007). untuk menurunkan. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memprediksi
Penyebab deforestasi dan degradasi hutan di dunia cukup beragam, namun pada besarnya deforestasi di Indonesia diantaranya yang terpenting adalah terjadinya
umumnya terkait dengan kegiatan ekonomi. Untuk Indonesia, beberapa faktor pemicu pertambahan penduduk, pertambangan di kawasan hutan, pertanian/perkebunan,
deforestasi dan degradasi yang telah diidentifikasi yaitu pertambahan jumlah penduduk, konversi hutan, kebakaran gambut dan drainase lahan gambut, dan degradasi.
penebangan liar; kebakaran hutan; dan konversi lahan hutan untuk kegiatan-kegiatan lain
yang menghasilkan penutupan lahan dengan cadangan karbon yang lebih rendah seperti
untuk perkebunan dan pertanian, pemekaran wilayah (kabupaten), pertambangan dan Sumber Serapan/
pemukiman.
Target pemerintah untuk menurunkan tingkat emisi 26% atau 14% untuk sektor kehutanan Penambahan Stok Carbon Hutan
sampai tahun 2020 perlu diterjemahkan dengan tindakan nyata di lapangan, yang dapat Sektor kehutanan memiliki kemampuan untuk menyerap/menambah stok karbon. Dalam
diukur, dapat dilaporkan secara transparan dan diverifikasi oleh pihak independen. BAU serapan karbon diperoleh dari peningkatan stok karbon melalui pertumbuhan
Kuantifikasi upaya menurunkan tingkat emisi perlu didasarkan kepada pengurangan hutan baik hutan tanaman maupun hutan alam. Untuk serapan angka luas hutan
sumber-sumber emisi dari sektor kehutanan, serta mengacu kepada pemahaman primer didasarkan atas angka tahun 2005 yaitu hutan primer seluas 36,467 juta ha,
mengenai BAU (Business as Usual). BAU emisi dalam konteks ini dapat diartikan sebagai hutan sekunder 54,648 juta ha dan hutan tanaman 2,782 juta ha. Untuk faktor serapan/
emisi dari hutan pada kondisi tanpa upaya khusus mitigasi, dan dijadikan sebagai penambahan stok carbon, hutan primer tumbuh sebesar 0.25 ton biomas/ha/tahun, hutan
dasar perhitungan pengurangan emisi. Dalam tulisan ini beberapa opsi pendekatan sekunder 1.16 sampai 2.23 ton (rata-rata biomas/ha/tahun. Sedangkan pertumbuhan
penetapan BAU dianalisis dan disajikan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan hutan tanaman sebesar 5.8- 16.25 ton (rata-rata 11.025 ton) biomasa/ha/tahun untuk
penghitungan pengurangan emisi sesuai persentase target yang telah ditetapkan. jenis cepat tumbuh dan lambat tumbuh.
Luas penanaman sebagai kondisi BAU berdasarkan data dari tahun 1970-2006,
menunjukkan rata-rata penanaman dari berbagai program sebesar 150.000-300.000
Profil Emisi Sektor Kehutanan ha / tahun. Dengan demikian untuk BAU, salah satu alternatif adalah dengan asumsi
Sebagai gambaran tentang besarnya emisi dari berbagai sektor di Indonesia, dapat luas hutan tanaman naik 150.000 sampai 300.000 ha/tahun.
dilihat hasil inventarisasi GRK yang dilakukan untuk penyusunan Second National
Communication (SNC) seperti tertera pada Gambar 1 (KLH, 2009). Pendekatan dalam
Waste Energy Penetapan BAU
Peat Fire 11% 21%
Industry Salah satu penentu besarnya emisi dalam kondisi BAU adalah laju deforestasi. Opsi-
12% opsi dalam menentukan besarnya emisi dalam kondisi BAU ditentukan oleh asumsi dan
3% prediksi besarnya faktor-faktor kombinasi yang menyebabkan terjadinya deforestasi
Agriculture yaitu laju pertumbuhan penduduk, kebijakan konversi, pembukaan areal hutan
5% untuk pertambangan, serta perubahan penggunaan hutan untuk tanaman pertanian,
perkebunan dan hutan tanaman industri.
LUCF
LU Pendekatan 1:
48% Emisi BAU (asumsi: luas deforestasi tetap 1 juta ha)
Gambar 1. Kontribusi sektor dalam emisi GRK dengan base-year Berdasarkan data yang tersedia sampai saat ini, maka salah satu opsi BAU yang
tahun 2000 dianggap telah mengakomodasi berbagai faktor penyebab deforestasi adalah angka
rata-rata deforestasi seluas 1 juta ha yang didasarkan analisis spatial laju deforestasi
tahun 2000-2005, atau berdasar “Data Historis”. Estimasi besarnya emisi dari asumsi
besarnya deforestasi, kebakaran gambut, logging dan drainase lahan gambut tertera
Besarnya emisi dari sektor Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF) pada tahun pada Gambar 2.
2000-2005 terutama berasal dari deforestasi dengan laju deforestasi pada tahun 2000-
2005 seluas 5.45 juta ha atau rata-rata 1.1. juta ha. Selain dari deforestasi, kontribusi GRK
dari sektor LULUCF berasal dari kebakaran lahan gambut dan lahan gambut yang diolah.
2 3
Berdasarkan hasil inventarisasi gas rumah kaca (GRK) nasional yang menggunakan base-
year tahun 2000 (2nd National Communication, 2009), sektor kehutanan merupakan
pengemisi GRK (net emitter) yang umumnya berasal dari deforestasi dan degradasi serta Sumber Emisi Sektor Kehutanan
kebakaran hutan termasuk gambut. Disisi lain, sektor ini juga mempunyai potensi besar Dari hasil inventarisasi dengan base-year tahun 2000 diketahui bahwa sumber emisi utama
untuk menyerap GRK (removal) melalui penanaman pohon dan pertumbuhan hutan. sektor LULUCF adalah deforestasi, kebakaran gambut dan lahan gambut yang diolah.
Berbagai kegiatan penanaman telah dilakukan di Indonesia jauh sebelum isu perubahan Diperkirakan sampai dengan tahun 2020 deforestasi masih akan terjadi karena kebutuhan
iklim berkembang. Penanaman melalui pembangunan hutan tanaman dari tahun 1989 pembangunan dan berbagai aktivitias manusia, apabila tidak ada intervensi kebijakan
hingga tahun 2004 telah mencapai 3,25 juta hektar (Dephut, 2007).untuk menurunkan. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memprediksi
Penyebab deforestasi dan degradasi hutan di dunia cukup beragam, namun pada besarnya deforestasi di Indonesia diantaranya yang terpenting adalah terjadinya
umumnya terkait dengan kegiatan ekonomi. Untuk Indonesia, beberapa faktor pemicu pertambahan penduduk, pertambangan di kawasan hutan, pertanian/perkebunan,
deforestasi dan degradasi yang telah diidentifikasi yaitu pertambahan jumlah penduduk, konversi hutan, kebakaran gambut dan drainase lahan gambut, dan degradasi.
penebangan liar; kebakaran hutan; dan konversi lahan hutan untuk kegiatan-kegiatan lain
yang menghasilkan penutupan lahan dengan cadangan karbon yang lebih rendah seperti
untuk perkebunan dan pertanian, pemekaran wilayah (kabupaten), pertambangan dan Sumber Serapan/
pemukiman.
Target pemerintah untuk menurunkan tingkat emisi 26% atau 14% untuk sektor kehutanan Penambahan Stok Carbon Hutan
sampai tahun 2020 perlu diterjemahkan dengan tindakan nyata di lapangan, yang dapat Sektor kehutanan memiliki kemampuan untuk menyerap/menambah stok karbon. Dalam
diukur, dapat dilaporkan secara transparan dan diverifikasi oleh pihak independen. BAU serapan karbon diperoleh dari peningkatan stok karbon melalui pertumbuhan
Kuantifikasi upaya menurunkan tingkat emisi perlu didasarkan kepada pengurangan hutan baik hutan tanaman maupun hutan alam. Untuk serapan angka luas hutan
sumber-sumber emisi dari sektor kehutanan, serta mengacu kepada pemahaman primer didasarkan atas angka tahun 2005 yaitu hutan primer seluas 36,467 juta ha,
mengenai BAU (Business as Usual). BAU emisi dalam konteks ini dapat diartikan sebagai hutan sekunder 54,648 juta ha dan hutan tanaman 2,782 juta ha. Untuk faktor serapan/
emisi dari hutan pada kondisi tanpa upaya khusus mitigasi, dan dijadikan sebagai penambahan stok carbon, hutan primer tumbuh sebesar 0.25 ton biomas/ha/tahun, hutan
dasar perhitungan pengurangan emisi. Dalam tulisan ini beberapa opsi pendekatan sekunder 1.16 sampai 2.23 ton (rata-rata biomas/ha/tahun. Sedangkan pertumbuhan
penetapan BAU dianalisis dan disajikan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan hutan tanaman sebesar 5.8- 16.25 ton (rata-rata 11.025 ton) biomasa/ha/tahun untuk
penghitungan pengurangan emisi sesuai persentase target yang telah ditetapkan. jenis cepat tumbuh dan lambat tumbuh.
Luas penanaman sebagai kondisi BAU berdasarkan data dari tahun 1970-2006,
menunjukkan rata-rata penanaman dari berbagai program sebesar 150.000-300.000
Profil Emisi Sektor Kehutanan ha / tahun. Dengan demikian untuk BAU, salah satu alternatif adalah dengan asumsi
Sebagai gambaran tentang besarnya emisi dari berbagai sektor di Indonesia, dapat luas hutan tanaman naik 150.000 sampai 300.000 ha/tahun.
dilihat hasil inventarisasi GRK yang dilakukan untuk penyusunan Second National
Communication (SNC) seperti tertera pada Gambar 1 (KLH, 2009).Pendekatan dalam
WasteEnergyPenetapan BAU
Peat Fire11%21%
Industry Salah satu penentu besarnya emisi dalam kondisi BAU adalah laju deforestasi. Opsi-
12% opsi dalam menentukan besarnya emisi dalam kondisi BAU ditentukan oleh asumsi dan
3% prediksi besarnya faktor-faktor kombinasi yang menyebabkan terjadinya deforestasi
Agriculture yaitu laju pertumbuhan penduduk, kebijakan konversi, pembukaan areal hutan
5% untuk pertambangan, serta perubahan penggunaan hutan untuk tanaman pertanian,
perkebunan dan hutan tanaman industri.
LUCF
LU Pendekatan 1:
48% Emisi BAU (asumsi: luas deforestasi tetap 1 juta ha)
Gambar 1. Kontribusi sektor dalam emisi GRK dengan base-year Berdasarkan data yang tersedia sampai saat ini, maka salah satu opsi BAU yang
tahun 2000 dianggap telah mengakomodasi berbagai faktor penyebab deforestasi adalah angka
rata-rata deforestasi seluas 1 juta ha yang didasarkan analisis spatial laju deforestasi
tahun 2000-2005, atau berdasar “Data Historis”. Estimasi besarnya emisi dari asumsi
besarnya deforestasi, kebakaran gambut, logging dan drainase lahan gambut tertera
Besarnya emisi dari sektor Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF) pada tahun pada Gambar 2.
2000-2005 terutama berasal dari deforestasi dengan laju deforestasi pada tahun 2000-
2005 seluas 5.45 juta ha atau rata-rata 1.1. juta ha. Selain dari deforestasi, kontribusi GRK
dari sektor LULUCF berasal dari kebakaran lahan gambut dan lahan gambut yang diolah.
2 3
Emisi kumulatif CO2 sampai tahun 2020
Emisi kumulatif Untuk serapan diasumsikan bahwa pembangunan hutan tanaman hanya 150.000 ha per
CO2 (juta ton)
16000 tahun, berdasarkan rata-rata capaian pembangunan hutan tanaman melalui berbagi
14000 program penanaman selama ini. Hasil perhitungan emisi BAU apabila terjadi peningkatan
laju deforestasi dan degradasi dapat dilihat pada Gambar 3.
12000
10000
8000 Emisi kumulatif CO2 sampai tahun 2020
Emisi kumulatif
6000 CO2 (juta ton)
4000 20000
2000 Tahun
0 15000
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
006 007 008 009 010 011 012 013 014 015 016 017 018 019 020 10000
5000
Emisi BAU dengan kebakaran dan drainase gambut Tahun
Emisi BAU tanpa Kebakaran dan drainase gambut 0
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00
Emisi BAU tanpa kebakaran 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Gambar 2. Estimasi akumulasi emisi BAU opsi 1 sampai tahun 2020 Kumulatif Emisi BAU dengan kebakaran dan drainase gambut
Kumulatif Emisi BAU tanpa Kebakaran dan drainase gambut
Grafik tersebut didasarkan asumsi yaitu:
• Luas deforestasi rata-rata 1 juta ha/tahun Kumulatif Emisi BAU tanpa kebakaran
• Emisi kebakaran gambut 466 juta ton/tahun Gambar 3. Estimasi akumulasi emisi BAU opsi 2 sampai tahun 2020
• Emisi degradasi (logging) 31,8 juta m3 kayu atau setara dengan 123 juta ton CO2 per
tahun
• Emisi lahan gambut diolah dengan faktor emisi 10 ton/ha/tahun dari luas areal 4.5 juta
ha, dan naik 50.000 ha/tahun Grafik tersebut didasarkan asumsi yaitu:
• Serapan Hutan alam primer dengan pertumbuhan 0.25 tb/ha/tahun seluas 36.5 juta ha, • Luas deforestasi meningkat 10% atau 100.000 ha setiap tahun sampai tahun 2020
berkurang 500.000 ha/tahun • Emisi kebakaran gambut 466 juta ton/tahun
• Serapan hutan alam sekunder dengan pertumbuhan 1.7 tb/ha/tahun dari luas 54.6 juta • Emisi degradasi (logging) terjadi peningkatan yaitu 69 juta m3 tahun 2007 menjadi 95
ha, berkurang 500.000 ha/tahun juta m3 tahun 2014 atau kenaikan 3.7 juta m3 per tahun (Widyantoro dan Sukardi, 2007)
• Serapan hutan tanaman dengan pertumbuhan 11 tb/ha/tahun seluas 2.7 juta ha, bertam- • Emisi lahan gambut diolah dengan faktor emisi 10 ton/ha/tahun dari luas areal 4.5 juta
bah 300.000 ha/tahun ha, dan naik 50.000 ha/tahun
Dari gambar 2 terlihat bahwa estimasi emisi kumulatif BAU yang dihitung sejak tahun • Serapan Hutan alam primer dengan pertumbuhan 0.25 tb/ha/tahun seluas 36.5 juta ha,
2006 (1) dengan memperhitungkan kebakaran dan drainase lahan gambut mencapai berkurang 500.000 + 50.000 ha/tahun
15,131.4 juta ton CO2, atau rata-rata per tahun sebesar 1,010 juta ton CO2, (2) tanpa • Serapan hutan alam sekunder dengan pertumbuhan 1.7 tb/ha/tahun dari luas 54.6 juta
memperhitungkan kebakaran dan tanpa drainase lahan gambut mencapai 5474 juta ton ha, berkurang 500.000 + 50.000 ha/tahun
CO2 atau rata-rata per tahun sebesar 367.1 juta ton CO2 dan (3) tanpa memperhitungkan • Serapan hutan tanaman dengan pertumbuhan 11 tb/ha/tahun seluas 2.7 juta ha, bertam-
kebakaran tetapi termasuk drainase lahan gambut mencapai 8141.4 juta ton CO2 atau bah 300.000 ha/tahun
rata-rata per tahun sebesar 544 juta ton CO2 Dari gambar 3 terlihat bahwa estimasi emisi kumulatif BAU yang dihitung sejak tahun
Pendekatan 2: 2006 (1) dengan memperhitungkan kebakaran dan drainase lahan gambut mencapai
18,285.9 juta ton CO2, atau rata-rata per tahun sebesar 1,219.1 juta ton CO2, (2) tanpa
Emisi BAU (asumsi: luas deforestasi meningkat 10% atau memperhitungkan kebakaran dan tanpa drainase lahan gambut mencapai 8,628.5 juta ton
100.000 ha setiap tahun) CO2 atau rata-rata per tahun sebesar 575.2 juta ton CO2 dan (3) tanpa memperhitungkan
kebakaran tetapi termasuk drainase lahan gambut mencapai 11,295.9 juta ton CO2 atau
Opsi BAU lain adalah kecenderungan peningkatan deforestasi karena pertambahan jumlah rata-rata per tahun sebesar 753.1 juta ton CO2
penduduk, konversi hutan menjadi lahan pertanian dan pertambangan. Peningkatan laju
deforestasi masih mungkin terjadi karena ketersediaan lahan hutan produksi yang bisa
dikonversi. Diasumsikan bahwa laju deforestasi maksimum adalah 1.500.000 ha/tahun
Selain itu dari berbagai studi cenderung terjadi peningkatan degradasi karena logging
baik legal maupun ilegal guna memenuhi kebutuhan kayu dalam negeri dan eksport.
4 5
no reviews yet
Please Login to review.