Authentication
426x Tipe DOC Ukuran file 0.07 MB
1
EKOSISTEM HUTAN BAKAU:
PEMANFAATANNYA UNTUK HABITAT GIANT-KEPITING
1. MAKNA EKONOMIS DAN EKOLOGIS HUTAN BAKAU
Hutan bakau (mangrove) adalah hutan yang tumbuh pada tanah aluvial di
pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan diciri-
kan oleh jenis-jenis pohon Avicenia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,
Lumnitzera, Exoecaria, Xyloccarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Dengan
demikian, ekosistem bakau ialah ekosistem pantai yang komponen tumbuhannya
ialah hutan, beserta fauna dan habitatnya yang khas. Lokasi ekosistem bakau ini
umumnya adalah pantai-pantai dengan teluk dangkal, estuari, delta, bagian
terlindung dari tanjung, selat yang terlindung dari ombak serta tempat-tempat lain
yang serupa. Tanahnya bervariasi dari lumpur, lempung, gambut dan pasir.
Ekosistem hutan bakau sangat unik dan sangat potensial. Secara ekonomis,
hutan bakau merupakan penghasil berbagai bahan baku industri, kayu bakar, arang,
bahan penyamak, mendukung upaya budidaya perikanan, dan lain-lain. Secara
ekologis hutan bakau mempunyai fungsi penting karena menjadi tempat lindung
bagi banyak jenis flora maupun fauna. Hal ini sering membawa pada pertentangan
kepentingan dalam pemanfaatannya. Di Indonesia, dan Jawa Timur khususnya,
sesungguhnya pertentangan ini dapat terhindarkan apabila semua pihak dapat
menyadari peran lindung hutan bakau tersebut sesunggunya juga mencakup
perlindungan terhadap kualitas lingkungan yang menjamin kelestarian usaha-usaha
produksi seperti hasil hutan, tambak dan perikanan pada umumnya. Secara rinci
peran lindung hutan bakau adalah sebagai berikut:
(a). Bersifat khas dan strategis untuk menyangga kelestarian kehidupan biota darat
dan perairan baik laut maupun tawar.
(b). Sebagai penyangga produktivitas wilayah usaha perairan pantai dan laut.
(c). Berperanan besar untuk melindungi pantai dan menghambat lepasnya butir-
butir tanah ke lautan bebas serta mempercepat pengendapan pantai.
Secara teoritis daya regenerasi hutan bakau cukup kuat, sehingga sering
dapat dengan lebih mudah dipulihkan apabila mengalami kerusakan, terutama bila
dibandingkan dengan kawasan ekologis lainnya seperti terumbu karang. Namun
demikian, apabila sampai muncul kerusakan di kawasan hutan bakau hal yang
mungkin sulit dikembalikan adalah hilangnya beberapa jenis flora maupun fauna
langka dari kawasan hutan yang rusak tersebut. Selain dari itu, sesuai dengan
perannya seperti tersebut di atas, kerusakan hutan bakau umumnya berpengaruh
luas terhadap ekosistem lainnya yang terkait dengannya.
2. HUTAN BAKAU DAN PROSES DEGRADASINYA
Pada dasarnya kondisi ekosistem pantai di Jawa Timur dapat dibagi
menjadi dua kelompok berdasarkan atas ciri-ciri fisik pantainya. Kelompok
2
pertama umumnya berada di kawasan pantai selatan Jawa Timur yang mempunyai
pantai terjal, berbatu dengan ombak yang besar menghantam pantai setiap saat.
Kelompok kedua umumnya berada di sepanjang pantai utara Jawa timur yang
relatif landai, berlumpur dengan ombak yang relatif tenang dan arus air lambat.
Kondisi fisik seperti inilah yang menjadi alasan mengapa kawasan bakau lebih
banyak di pantai utara dibandingkan pantai selatan Jawa Timur.
Berdasarkan atas nilai indeks sensitivitas lingkungan yang ditetapkan oleh
Kantor Menteri Lingkungan Hidup (Anonymous, 1987), dengan kriteria fisik
seperti tersebut, pantai utara dapat dianggap lebih sensitif terhadap pengaruh faktor
pencemaran dibandingkan pantai selatan. Pada hal justru pantai utara Jawa Timur
yang mempunyai perkembangan sosial-ekonomi pesat. Dari sini dapat dipahami
mengapa banyak kawasan bakau di pantai utara Jawa Timur yang telah rusak, dan
berubah fungsi seiring dengan pesatnya perkembangan sosial- ekonomi. Data tahun
1991 yang berhasil dikumpulkan oleh Marsoedi, et al., menunjukkan bahwa dari
kurang lebih 859 km hutan bakau sepanjang pantai Jawa Timur, 230 ha dinyatakan
rusak berat dan dari 700 ha rusak ringan. Selanjutnya dari hasil survei kasar,
dengan pemilihan tempat secara acak, di kawasan pantai utara Jawa Timur tidak
dijumpai hutan bakau (Sumitro, 1992). Hasil pengamatan visual menunjukkan
pohon-pohon bakau pada umumnya hanya terdapat pada galengan tambak atau
saluran irigasi atau dalam bentuk gerumbul-gerumbul kecil di sekitar pemukiman
penduduk. Hasil penelitian Fandeli (1992) juga menunjukkan hal yang serupa. hasil
pengamatannya di kawasan pantai Probolinggo dan sekitarnya menunjukkan bahwa
umumnya hutan mangrove merupakan jalur sempit sejajar dengan jalan raya
Surabaya-Banyuwangi yang terputus-putus di berbagai tempat oleh karena
pemukiman atau peruntukkan lainnya. Lebar areal hutan paling panjang adalah
175m, dan umumnya berkisar antara 50-60 m. Secara umum kawasan hutan bakau
tersebut tidak lagi sebagai hutan lindung melainkan telah bergeser ke fungsi
produksi. Hal ini tentu tidak bersesuaian lagi dengan status mereka yang
merupakan kawasan hutan lindung milik perum perhutani. Hal serupa juga di
jumpai di kawasan Blambangan-Banyuwangi (Soebiantoro, 1992). Tampaknya
kawasan pantai utara Jawa Timur sudah tidak lagi mempunyai kawasan hutan
bakau perawan kecuali di kawasan-kawasan konservasi seperti Baluran.
Usaha penanaman kembali pohon bakau ternyata telah banyak dilakukan
di sepanjang pantai utara dan pantai madura termasuk madura kepulauan
(Marsoedi, et al., 1991). Umumnya penghijauan dilakukan oleh instansi di bawah
departemen kehutanan, termasuk Perhutani, dan Badan Konservasi Sumberdaya
Alam Daerah (BKSDA). Lokasi penghijauan meliputi beberapa daerah di
kabupaten-kabupaten Banyuwangi, Jember, Situbondo, Malang, Blitar, Pacitan,
Trenggalek, Sumenep dan Bangkalan. Namun demikian, usaha penanaman kembali
sering tidak bertujuan untuk menghutankan kembali kawasan bakau, tetapi sekedar
menghijaukan kawasan bakau, dan sering dikaitkan dengan kepentingan
pertambakan baik yang modern maupun tradisional. Menurut hasil sigi di Jawa
Timur, total usaha penghijauan di luar usaha konservasi dan pengamanan hutan
3
bakau tersebut telah dilakukan pada kawasan bakau seluas kurang lebih 1250 ha
(Marsoedi, et al., 1991).
Hasil penelitian Marsoedi et al. (1991) tersebut juga menanpakan secara
jelas sekali besarnya pengaruh laju tekanan pemukiman penduduk, pertumbuhan
budidaya tambak, perindustrian dan lain-lain kegiatan ekonomi terhadap laju
penyusutan kawasan bakau ini di sepanjang pantai utara Jawa Timur dan Madura.
Sayangnya, data rinci dalam skala yang lebih teliti mengenai laju perluasan
wilayah tambak dan penyusutan hutan bakau di Jawa Timur sampai saat ini amat
sulit didapatkan, meskipun dari hasil kuwesener dan wawancara terhadap instansi
terkait seperti, Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan, dan Pemerintah Daerah
(BAPPEDA) setempat, mereka umumnya mengkategorikan masalah penyusutan
luasan hutan bakau dan usaha penghijauan kembali kawasan bakau sebagai masalah
yang mendesak untuk ditangani.
Data hasil inventarisasi kasar yang telah dilakukan di beberapa kawasan
pantai Jawa Timur, (Sumitro, 1992) menunjukkan ada dua puluh tujuh jenis
tumbuhan bakau. Umumnya dari genus Rhizophora, Avicenia, Exoecaria, dan
Acanthus. Selain itu juga dapat dengan mudah terlihat, di kawasan pantai utara
yang landai, adanya kemunculan lahan atau daratan baru seiiring dengan laju
sedimentasi di daerah estuari. Suksesi ekosistem bakau di lahan baru ini terlihat
sering terganggu oleh aktivitas perambahan untuk tujuan-tujuan pertambakan atau
ladang pembuatan garam. Seperti halnya laju penyusutan hutan bakau, data akurat
mengenai laju pertambahan daratan baru serta aktivitas perambahan oleh penduduk
tidak pernah ada.
3. PERMUDAAN BUATAN TANAMAN BAKAU (Rhizophora
mucronata L.)
Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang unik dengan berbagai
macam fungsi dengan formasi khas daerah tropika dan terdapat di pantai
rendah yang tenang serta berlumpur sedikit berpasir dengan pengaruh pasang surut
air laut. Hutan mangrove juga berperanan penting sebagai penunjang ekosistem
wilayah pesisir terutama bagi kesejahteraan masyarakatnya. Fungsi mangrove
dilihat dari fungsi fisik, mampu berperan menahan gempuran ombak dan angin,
serta intrusi air laut ke daratan dan fungsi kimia berperan menghasilkan bahan
organik melalui dekomposisi orga nisme tanah mangrove. Sedang secara ekologis
mampu menunjang kehidupan organisme-organisme yang secara langsung maupun
tidak langsung hidupnya tergantung dari mangrove, karena mangrove mampu
sebagai jembatan antara daratan dan lautan. Nybakken (1988) menyatakan bahwa
ekosistem mangrove meru pakan suatu kawasan ekosistem rumit karena terkait
dengan ekosistem darat dan ekosistem lepas pantai di luarnya. Secara ekonomis
mampu menunjang kesejahteraan masyarakat sekitar pantai disebabkan mangrove
bisa dimanfaatkan dalam hal kayu dan non kayunya. Sayangnya mangrove terma
suk kawasan yang labil sehingga dikenal sebagai "fragile ecosystem" bila terjadi
4
perubahan pengaruh pe-nunjang pertumbuhan dan perkem-bangannya. Sehingga
banyak kawasan -kawasan yang rusak akibat eksploitasi yang berlebihan tanpa
mengetahui keseimbangan antara perkembangan regenerasi dan pemanenan. Maka
sebagai usaha pelestariannya adalah dengan peremajaan atau penanaman kembali
atau yang dikenal dibidang kehutanan dengan istilah permudaan buatan bagi hutan
mangrove.
Permudaan buatan adalah suatu kegiatan dalam usaha memperoleh hasil
yang dikehendaki dengan penggu naan jenis bibit yang sesuai zone pertumbuhan
dan jarak tanam yang dikehendaki. Sedang di satu sisi bahwa pelaksanaan
permudaan buatan sering kali mengalami kegagalan. Untuk itu, diperlukan adanya
suatu penelitian dari usaha permudaan buatan tersebut dengan pengukur beberapa
variabel yang terkait. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui prosentase
tumbuh dan keberhasilan permudaan buatan jenis R. mucronata L.
Menurut hasil kajian Arifin Arief dan Agus Sugianto (1998), luas areal
penelitian 30,81 ha dengan jarak tanam 3 x 2 m merupakan hasil penanaman
sejak 12 Januari 1996 pada daerah bertopografi datar sedikit bergelombang dan
beriklim tipe E klasifikasi Schmidt-Ferguson. Curah hujan daerah pene litian rata-
rata mencapai 1000-1500 mm dengan jenis tanah regusol dan gromosol kelabu,
dengan bahan endapan pasir dan liat. Didalam pemilihan biji dipilih pada buah
yang telah mengalami perubahan warna kuning pada bagian antara biji dengan
hipokotil serta sesuai dari zone pertumbuhannya.
Diameter yang didapatkan secara rata-rata di seluruh petak ukur adalah
1,73 cm dan terbesar adalah 2,21 pada petak ukur 6 dengan ketebalan sedi-
mentasi 10,02 cm. Salinitas pada petak ukur didapatkan rata-rata sebesar 2,83
persen, hal ini disebabkan terjadinya curah hujan yang selalu berubah. Untuk
salinitas sebenarnya tidak dibutuhkan terlalu tinggi bagi pertumbuhan tanaman
tetapi bila terjadi salinitas yang tinggi, maka tanaman akan beradaptasi karena
sifatnya yang halophyt. Proses ini melalui perakaran disekresikan serta disalurkan
ke bagian-bagian tubuh tanaman terutama bagian daun-daun tua, karenanya pada
daun tua ditemui kadar garam yang relatif tinggi. Sesuai Soeroyo (1993) bahwa
mangrove mampu memin dahkan garam dengan cara menyim pannya dalam daun
yang lebih tua, karenanya konsentrasi kadar garam pada daun tua lebih tinggi.
Kemiringan permukaan tanah ternyata mempengaruhi lamanya dan
perluasan genangan. Pasang surut pada daerah genangan membawa serasah dan
tebal sedimentasi yang berdampak bisa tumbuh dan berkem bangnya mangrove.
Faktor physio graphy berpengaruh terhadap zonasi terutama dalam hal salinitas air
dan serasah (Anonimous, 1995). Kemi-ringan lahan sangat berpengaruh juga
terhadap ketebalan sedimentasi yang terbawa air pasang dan aliran sungai. Pada
petak ukur didapatkan genang an air setinggi 21,72 yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan permudaan buatan dengan rata-rata diameter 1,73 cm dan tinggi
semai tanaman rata-rata 43,16 cm. Sehingga kawasan mang-rove dengan empang
parit yang mampu menahan genangan ketika terjadi surut, mampu membuat tanah
selalu dalam kondisi lunak. Terdapat korelasi antara jenis tegakandengan pasang
surut dan lamanya genangan air (Soemodihardjo, 1979), sebab semakin ke atas
no reviews yet
Please Login to review.