Authentication
333x Tipe PDF Ukuran file 0.19 MB Source: pusdiklat.bps.go.id
BAHAN AJAR
MATERI ETIKA DAN INTEGRITAS
KEPEMIMPINAN PANCASILA
DIMENSI ETIKA PANCASILA DALAM BIROKRASI
Pendahuluan
Serupa dengan pemahaman filsafat yang secara etimologis melandaskan gagasannya
pada filos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan), begitu pula dengan etika sebagai bagian
dari filsafat itu sendiri. Manifestasi ide/gagasan pada ranah kenyataan yang mewujud
dalam tata-aturan tentang mana yang baik dan mana yang buruk, untuk kemudian
distandarisasi sesuai dengan paradigma dan ideologi, cara pandang, ataupun konsensus
yang berlaku (Althusser, 1984). Pun begitu, etika sendiri memiliki cara pandang yang
hampir sama dengan nilai, norma, ataupun moralitas.
Pada aspek inilah, tentunya etika menjadi pembeda pula antara manusia dengan hewan,
lewat fungsi makhluk sosial dan individual. Dengan demikian, hubungan manusia yang
sudah berikatan inilah yang menjadi dasaran bagi terciptanya sistematika organisasi
dalam birokrasi dengan keseluruhan legalitas dan legitimasi yang melingkupi. Namun,
pada saat ini tantangan demi hambatan yang menghadang sistematika tersebut, mulai
dari ketidakjelasan implementasi, kegamangan sistem etika/filsafat yang berawal dari
disfungsi konsensus dan berakhir pada ketidakberpihakan birokrasi itu sendiri kepada
masyarakat.
Sebagai contoh Pemprov DKI meminta birokrasi di unit-unit satuan kerja perangkat
daerah (SKPD) lingkup Pemprov DKI dan jajaran agar dipangkas dan jangan berbelit-
belit. Apalagi mempermainkan masyarakat dalam setiap pelayanan pada unit-unit kerja
semua SKPD. Seperti yang dipaparkan oleh Kartasasmita (1995) menyebutkan, bahwa
birokrasi memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self serving),
mempertahankan statusquo dan resisten terhadap perubahan, dan memusatkan
kekuasaan. Hal inilah yang kemudian memunculkan kesan bahwa birokrasi cenderung
lebih mementingkan prosedur daripada substansi, lamban dan menghambat kemajuan.
Apalagi, masih ada opini publik yang menyiratkan tentang betapa berbelit-belitnya
birokrasi saat ini.
Di bidang lain, Kementrian Keuangan menyatakan bahwa Reformasi Birokrasi bukan
hanya sekadar mengatur absensi pegawai di Kementerian Keuangan, melainkan
dibutuhkan alat ukur yang lebih tajam dalam memperhitungkan kinerja birokrasi saat ini.
Target kerja sebaiknya menjadi salah satu ukuran untuk mengukur kinerja aparat
Kementerian Keuangan. Namun, disisi lain identifikasi muramnya kinerja birokrasi
ditambah pula dengan tindakan korupsi yang melingkupi mereka.
Penelitian yang dilakukan Global Corruption Barometer (GCB) TII 2005-2007
menempatkan kepolisian, parlemen, partai politik dan lembaga peradilan dalam daftar
teratas institusi yang paling korup (catatan kaki Transparency International). Berdasarkan
data Pusat Studi Anti (PuKAt) Korupsi Fakultas Hukum UGM, aktor terbanyak tahun 2007
adalah Bupati/Walikota. Menurut PuKAt, hal ini menunjukan pengaruh kuat desentralisasi
terhadap peningkatan potensi dan kesempatan korupsi (UNCAC, 2003).
Sementara itu, di satu sisi arus global mengkondisikan bagaimana sebuah iklim
keterbukaan, demokratisasi, serta transaparansi-akuntabilitas disertakan di setiap lini
kepemerintahan, termasuk penyelenggaraan organisasi kemasyarakatan, tata-aturan
masyarakat, sampai pengaturan pihak swasta. Sehingga, aspek keberpihakan pelayanan
menjadi titik sentral dalam melihat kesetaraan antara negara, pasar, dan masyarakat. Di
samping itu, keberadaan aktor negara, pasar, dan masyarakat tidak hanya mewujud
dalam relasi-interaksional pelayananan, namun melakukan sebuah usaha bersama untuk
mencapai tujuan pembangunan yang dimaksud.
Di sinilah, Pancasila menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat dan bernegara, lewat
nilai, moral, norma dan etika yang ditanamkan sebagai bagian dari landasan filosofis
serta kepribadian negara-bangsa. Dengan begitu, ditemukan kesesuaian nilai
kepribadian tersebut dengan wilayah birokrasi pada ranah Governance, sekaligus
“penjaga” regulasi pada level etika bernegara-berbangsa.
Perihal Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” dalam bentuk tunggal yang berarti kebiasaan.
Etika merupakan dunianya filsafat, nilai, dan moral yang mana etika bersifat abstrak dan
berkenaan dengan persoalan baik dan buruk. Yang mana dapat disimpulkan bahwa etika
adalah: (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan terutama tentang hak
dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; (3)
nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Secara terminologis, De Vos mendefinisikan etika sebagai ilmu pengetahuan tentang
kesusilaan (moral). Sedangkan William Lillie mendefinisikannya sebagai the normative
science of the conduct of human being living in societies is a science which judge this
conduct to be right or wrong, to be good or bad. Sedangkan ethic, dalam bahasa Inggris
berarti system of moral principles. Istilah moral itu sendiri berasal dari bahasa latin mos
(jamak: mores), yang berarti juga kebiasaan dan adat (Vos, 1987).
Dari hasil analisis K Bertens (2004: 6) disimpulkan bahwa etika memiliki tiga posisi, yaitu
sebagai (1) sistem nilai, yakni nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, (2) kode etik, yakni
kumpulan asas atau nilai moral, dan (3) filsafat moral, yakni ilmu tentang yang baik atau
buruk. Dalam poin ini, akan ditemukan keterkaitan antara etika sebagai sistem filsafat
sekaligus artikulasi kebudayaan.
Di samping itu, filsafat menganalisa tentang mengapa dan bagaimana manusia itu hidup
di dunia serta mengatur level mikrokosmos (antar manusia/Jagad Cilik) dan
makrokosmos (antar Alam dan Tuhan/Jagad Gede). Sebagai sistem pemikiran tentunya
konsep dasar filsafat digunakan dalam mengkaji etika dalam sebuah hubungan
keseimbangan antara cipta, rasa, dan karsa. Hubungan tersebut didasari landasan
pemikiran bahwasanya ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi yaitu apakah hakikat pemikiran tersebut, Epistemologi yaitu mengapa ada
pemikiran tersebut, sementara Aksiologi adalah bagaimana cara untuk melaksanakan
pemikiran tersebut. Secara umum, dalam khazanah pemikiran akan dibagi dalam empat
bagian: (1) filsafat sebagai kajian yang mempelajari tentang hakikat pemikiran; (2) etika
sebagai kajian yang mempelajari tentang bagaimana sebaiknya manusia berperilaku; (3)
estetika sebagai kajian yang mempelajari tentang keteraturan antara makhluk hidup; (4)
metafisika sebagai kajian yang melihat hubungan manusia dengan unsur di luar nalarnya.
no reviews yet
Please Login to review.