Authentication
429x Tipe PDF Ukuran file 0.17 MB Source: erepo.unud.ac.id
PERADABAN LEMBAH SUNGAI SINDHU DAN KEBERADAANYA DI INDONESIA 1.)
2.)
oleh : I Wayan Redig
1. Pendahuluan
Pertama-tama pemakalah berterimakasih kepada Anand Ashram Foundation, karena
diberi kehormatan, diundang menyajikan makalah dalam Seminar Nasional bertema “Memahami
Sejarah Peradaban Lembah Sungai Sindhu untuk Membangkitkan Kembali Nilai-Nilai Luhur
Nusantara”. Dari tema ini tersirat, setidak-tidaknya menurut pikiran pemakalah, bahwa
peradaban lembah sungai Sindhu ada kaitannya dengan peradaban yang berkembang di
Indonesia. Untuk mengisi tema ini, maka makalah yang disajikan ini diberi judul “Peradaban
Lembah Sungai Sindhu dan Keberadaannya di Indonesia”. Perlu dikemukakan bahwa peradaban
lembah sungai Sindhu yang berkembang di Indonesia setelah peradaban tersebut mengalami
akulturasi di daerah asal dan daerah lainnya di India.
Peradaban lembah sungai Sindhu dalam makalah ini disusun berdasarkan beberapa
sumber antara lain Ancient India (Majumdar, 1987), A Histoy of Fine Arts in India and The West
(Tomory, 1989), Asia Selatan (Su’ud, 1992), Sekilas Sejarah Evolusi Agama Hindu (Phalgunadi,
2010). Berdasarkan sumber-sumber tersebut dapat diketahui bahwa peradaban lembah sungai
Sindhu adalah peradaban kota. Penataan kota terencana: jalan, bangunan, rumah dan bangunan
lain diatur dengan rapi. Selain itu, berdasarkan tinggalan-tinggalan lepas dari hasil penggalian
dapat diketahui kehidupan sosial, agama dan budaya masyarakat.
Memang banyak hal dapat diungkapkan berkenaan dengan peradaban lembah sungai
Sindhu. Akan tetapi dalam makalah ini, tidak semuanya diungkapkan ; yang diungkapkan tentu
saja, yang dianggap penting ; penting dalam arti, ada kaitannya dengan peradaban yang
berkembang di Indonesia. Di Indonesia, tinggalan perabadan masa lampau yang masih tersisa,
kebanyakan berupa simbol-simbol keagamaan seperti candi, arca dan benda-benda atau atribut
lainnya. Oleh karena itu, pemaparan peradaban lembah sungai Sindhu dalam makalah ini lebih
menekankan pada simbol-simbol religi, sepanjang simbol-simbol tersebut ada kaitannya dengan,
yang berkembang di Indonesia. Simbol-simbol religi ini dikaji bentuk, karakter dan gaya seninya.
Dari kajian ini, diharapkan dapat diketahui perkembangan peradaban lembah sungai Shindu di
Indonesia.
1. Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Anand Ashram Foundation, hari
Kamis, 19 Mei 2016, di Gedung Pasca Sarjana, Universitas Udayan. Jl. P.B. Sudirman Denpasar.
2. Staf Pengajar Program Studi Arkeologi. Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana.
2. Sekilas Peradaban Lembah Sungai Sindhu
Sungai Sindhu (Indus) mengalir di Pakistan tetapi cabang-cabangnya berada di daerah
lima aliran sungai (Panjab). Sungai ini terkenal sebagai pusat peradaban, disebut Peradaban
Lembah Sungai Sindhu atau Peradaban Mahenjodaro dan Harappa. Wilayah peradaban ini sangat
luas, meliputi Panjab, Indus dan Rajastan. Sungai ini menjadi terkenal, berawal dari penemuan
benda-benda kuno oleh para pekerja yang sedang memasang rel kereta api dari Karachi ke
Panjab pada pertengahan abad ke-19. Penemuan ini sangat menarik perhatian bagi Jendral
Cunningham, Direktur Jendral Arkeologi di India, dan dilakukan penelitian lebih intensif. Studi
mendalam mengenai kekunaan peradaban ini juga dilakukan oleh beberapa indologi. Diantara
mereka antara lain Sir John Marshall, menulis buku Mahenjodaro and Indus Civilization, tahun
1931; L.E. Machey, menulis buku The Hindus Civilization, tahun 1935; N.G Majumdar dan R.D
Banerji (Su’ud, 1992:35-36).
Ekskavasi (penggalian) dilaksanakan lebih intensif. Tahun 1922-1923, ekskavasi
diadakan di Mahenjodaro, distrik Larkana, Sindhu ; selanjutnya di Harappa, distrik Montgomery,
Pakistan Barat. Hal hasil, didapatkan peradaban kota. Sistem perencanaan kota terencana dengan
baik. Jalan-jalan yang lebar dilengkapi dengan sistem pengaliran air yang baik. Lebarnya jalan
bahkan ada sampai 10 meter, di kanan kirinya ada sejenis trotoir selebar setengah meter.
Gedung-gedung juga ada di kanan kiri jalan, yang pintu keluarnya menghadap kejalan. Gedung-
gedung dilapisi dengan sejenis semen. Beberapa gedung mempunyai loteng lengkap dengan
kamar mandi yang ada pipa pembuang air kebawah. Bentuk atap rumah datar. Didapatkan juga
kamar mandi umum, ukurannya 11x7 meter. Gedung penyimpan gandum juga ada. Selain itu,
juga banyak didapatkan temuan-temuan lepas seperti arca (terbuat dari batu, perunggu), materai
tanah liat yang ada gambar binatang, juga berisi huruf pictograph (sampai sekarang belum
terbaca). Diantara temuan-temuan lepas ini, ada yang dapat diidentifikasi sebagai objek atau
media pemujaan. Bahkan ada sejumlah gambar atau arca yang diduga sebagai prototipe dewa
tertentu. Masih banyak temuan-temuan lepas untuk mengungkapkan peradaban lembah sungai
Sindhu mengenai berbagai aspeknya : budaya, soasial, agama dan lain sebagainya. Umur
peradaban lembah Sungai Sindhu diperkirakan antara 3000-2000 s.m . (Majumdar, 1987:20-27;
Tomory, 1989:5-16; Su’ud, 1992: 36-38).
Peradaban lembah Sungai Sindhu didukung oleh bangsa Dravida. Mereka datang dari
barat 5000 tahun yang lalu, jauh sebelum terbangunnya peradaban kota. Bangsa ini tergolong ras
2
Mediteranian yang menggunakan bahasa Dravida. Bahasa ini sekarang masih tersisa di Tamil,
Telugu, Kannada dan Malayalam (Majumdar, 1987:17, 29).
Sudah dikemukakan sebelumnya bahwa yang perlu disampaikan dalam makalah ini
adalah aspek religi peradaban lembah sungai Sindhu. Pendukung peradaban ini sudah mengenal
pemujaan terhadap Dewi Ibu, Siwa, Lingga, binatang dan pohon-pohonan (Majumdar, 1987 : 17,
29).
Pemujaan kepada Dewi Ibu
Dewi Ibu ini adalah ibunya bumi atau Ibu Pertiwi. Di Bali pemujaan kepada Ibu Pertiwi
masih ada dalam mantram tetapi Pura sebagai tempat pemujaan secara khusus tidak ada. Namun
demikian, di dalam sejumlah Pura ada palinggih khusus untuk Dewi Pertiwi. Oleh Majumdar
(1987:25) dikatakan bahwa pemujaan kepada Dewi Ibu ini sangat populer dikalangan orang-
orang primitif di mana-mana diseluruh dunia. Dikatakan lebih lanjut bahwa pemujaan kepada
Dewi Ibu adalah wujud pemujaan terhadap kekuatan perempuan. Bahkan menurut Mahajan dan
Kundra ( dalam Phalgundi, 2010:8) , Dewi Ibu ini merupakan sumber dari semua ciptaan dan
diyakini juga sebagai dewi kesuburan, penguasa tumbuh tumbuhan dan pemberi kekuatan magis.
Di Indonesia, sisa-sisa pemujaan kepada dewa-dewi kesuburan masih didapatkan.
Di lembah sungai Sindhu, adanya pemujaan Dewi Ibu ini, dibuktikan dari adanya
sejumlah penemuan berupa patung-patung wanita setengah telanjang. Patung-patung ini
diantaranya ada yang memakai perhiasan lengkap pada kepala, leher, pinggang, lengan dan kaki.
Beberapa gambar yang terlihat dalam meterai menunjukkan bahwa ada ritual korban binatang
dan manusia untuk Dewi Ibu ini (Majumdar, 1987:25).
Pemujaan Kepada Siwa
Aspek kekuatan kelaki-lakian (Male Gods) juga mendapat pemujaan di lembah Sungai
Sindhu. Pemujaan kepada dewa laki-laki meluas di lembah Sungai Sindhu, dibuktikan dengan
didapatkan meterai-meterai menyebar disejumlah tempat penggalian di wilayah tersebut. Dewa
laki-laki banyak jumlahnya; satu diantaranya, yang menarik perhatian, seorang dewa duduk
dalam sikap yoga asana (bersila diatas tempat duduk) lengkap dengan perhiasannya di kepala,
leher, lengan dan kaki. Lebih menarik lagi bahwa dewa ini, kepalanya tiga (mungkin empat,
yang satu tidak kelihatan), dihadap oleh tiga ekor binatang yang berada di sekelilingnya.
Binatang yang dimaksud adalah harimau, kerbau dan rhinoceros. Di bawah tempat duduknya
3
terdapat binatang rusa. Menarik juga untuk dikemukakan bahwa, kemaluan dewa yang sedang
duduk ini, digambarkan berdiri. Pendapat para ahli berbeda-beda untuk memberi identitas
terhadap dewa yang satu ini. Dugaan-dugaan yang muncul bahwa dewa ini adalah Siwa (karena
berkepala tiga), Pasupati (dewa penguasa binatang), Mahayogi (dewa petapa yang agung).
Mereka para ahli juga berpendapat bahwa dewa ini asli dewa orang-orang Drawida. Dalam kitab
Weda nama dewa tersebut tidak dikenal (Majumdar, 1987:25-26). Dewa Siwa, dewa asli milik
orang Drawida, yang tidak termuat dalam kitab Weda kuna, tetapi sangat populer di Indonesia.
Pemujaan Lingga
Lingga merupakan lambang perwujudan Siwa, atau bentuk simbolisasi Siwa yang
manifes, sebagai dewa kesuburan. Bentuknya bulat panjang menyerupai phallus (kemaluan laki-
laki). Benda-benda menyerupai phallus didapatkan banyak sekali di lembah Sungai Sindhu.
Dapat dipastikan bahwa benda-benda tersebut adalah prototipe bentuk lingga, yang bermakna
sebagai media pemujaan di zaman kemudian. Yoni, yang merupakan pasangan lingga, yang
sebagai lambang kemaluan wanita, juga didapatkan di lembah sungai Sindhu. Tetapi hanya
beberapa. Menurut Majumdar (1987:26), pemujaan yoni dalam peradaban lembah sungai Sindhu
kurang populer dibandingkan dengan pemujaan lingga. Karena banyak didapatkan lingga, bibit-
bibit pemujaan kepada Siwa sudah ada dalam peradaban lembah Sindhu. (Mahajan dalam
Phalgunadi, 2010:9).
Pemujaan Pohon dan Binatang
Pemujaan kepada pohon, binatang dan benda-benda lain adalah tradisi yang berkaitan
dengan animisme, totemisme dan dinamisme. Di lembah Shindu, binatang aneh bertanduk satu
dan pohon pipala sangat disucikan (sebagai pemujaan). Pemujaan air dan api juga menonjol
tetapi bukti-bukti tinggalan arkeologis sangat sedikit. Ada juga bukti pemujaan terhadap
matahari. Simbol-simbol matahari seperti swastika dan roda (cakram) ada banyak tergambar
dalam meterai, Tokoh dewa, yang kepalanya dipayungi dengan kepala kobra adalah pemujaan
kepada naga, pada zaman belakangan tanda-tandanya juga ditemukan di lembah sungai Sindhu
(Majumdar, 1987:26).
4
no reviews yet
Please Login to review.