Authentication
421x Tipe PDF Ukuran file 0.58 MB Source: repository.uksw.edu
BAB II
LANDASAN TEORI
Wiliam Wiersma (dalam Sugiyono, 2011: 58) menyatakan bahwa, teori adalah
generalisasi atau kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai
fenomena secara sistematik. Selanjutnya, Cooper and Schindler dalam Sugiyono (2011:
59) mengatakan, teori adalah seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang tersusun
secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.
Kerangka teoritis merupakan landasan pemikiran yang membantu peneliti dalam
menentukan tujuan penelitian, arah penelitian, pemilihan konsep dan perumusan hipotesa
(Koentjaraningrat: 1993: 21). Dalam penelitian kualitatif, karena permasalahan yang
dibawa peneliti masih bersifat sementara, maka teori yang digunakan dalam penyusunan
proposal juga bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti memasuki
lapangan. Teori dalam penelitian kualitatif akan membantu peneliti dalam memahami
konteks sosial secara luas dan mendalam (Sugiyono: 2011: 240).
2.1. Multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara epistimologi
multikultural dibentuk dari kata “multi” (banyak) dan “kultural” (budaya), “isme”
(aliran/paham). Secara hakiki dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat
manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik
(Mahfud, 2009: 75). Azyumardi Azra mengatakan bahwa multikulturalisme pada
dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai
kebijakan kebudayaan yang menekankakan tentang penerimaan terhadap realitas
keragaman, pluralitas dan realitas multikultural yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang
mengakui eksistensi kultural yang ada, terlepas dari besar atau kecilnya; pandangan
inilah yang kemudian disebut sebagai politics of recognition (Azra 2007: 13).
Multikulturalisme merupakan kepercayaan yang menyatakan bahwa kelompok-
kelompok etnik atau budaya (ethnic and cultural groups) dapat hidup berdampingan
7
secara damai yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. (Cholil
2008:7). Bhikhu Parekh mengatakan multikulturalisme tidak seperti perbedaaan yang
muncul dari pilihan individu, perbedaan yang diperoleh secara kultural membawa satu
tolak ukur autoritas dan diberi bentuk serta distrukturkan karena dilekatkan dalam satu
sistem arti dan makna yang diwariskan dan dimiliki secara historis (Parekh, 2008:15).
Multikulturalisme, dengan demikian mengenai keanekaragaman atau perbedaan yang
dilekatkan secara kultural.
Berdasarkan pengertian tentang multikulturalisme dari para ahli di atas,maka
dapat disimpulkan secara singkat bahwa yang dimaksud dengan multikulturalisme adalah
sebuah keadaan dimana masyarakat yang terdiri dari beragam perbedaan dapat hidup
berdampingan dan memiliki rasa saling menghormati dan menghargai perbedaan yang
ada.
Dengan pengertian yang beragam dan kecenderungan perkembangan konsep
dan praktek multikulturalisme, Parekh (1997: 183-185) membedakan lima macam
multikulturalisme. Pembagaian kelima bentuk multikulturalisme ini tidak kedap air
(watertight), sebaliknya bias tumpang tindih dalam segi-segi tertentu :
Pertama, “multikulturalisme isolasionis” yang mengacu kepada masyarakat
dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam
interaksi yang hanya minimal satu sama lain. Contoh-contoh kelompok ini adalah seperti
masyarakat yang ada pada sistem “millet” di Turki Usmani atau masyarakat Amish di
Amerika Serikat. Kelompok masyarakat Samin di Indonesia juga menganut sistem
multikulralisme isolasionis. Kelompok masyarakat ini menerima keberagaman, tetapi
pada saat yang sama berusaha mempertahankan, budaya mereka secara terpisah dari
masyarakat lain umumnya.
Kedua, “Multikultaralisme akomodatif”, yakni masyarakat plural yang memiliki
kultur dominan, yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi
kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan
dan menerapkan undang-undang , hukum dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara
kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan
mengembangkan kebudayaan mereka; sebaliknya kaum minoritas tidak menantang kaum
8
kultur dominan. Multikulturalisme akomodatif ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis,
dan beberapa negara Eropa lainnya.
Ketiga multikultaralisme otonomis, yakni masyarakat plural dimana kelompok-
kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya
dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara
kolektif bias diterima. Concern pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah
untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan
kelompok dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha
menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
Jenis multikultaralisme ini didukunng misalnya oleh kelompok Quebecois di Kanada dan
kelompok-kelompok muslim imigran di Eropa, yang menuntut untuk bias menerapkan
syari’ah, mendidik anak-anak mereka pada sekolah islam, dan sebagainya.
Keempat, “multikultaralisme kritikal” atau “interaktif”, yakni masyarakat plural
dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu concern dengan kehidupan kultural
otonom; tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan
menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. Kelompok budaya dominan tentu
saja cenderung menolak tuntutan ini, dan bahkan berusaha secara paksa untuk
menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya kelompok-
kelompok minoritas. Karena itulah kelompok minoritas menantang kelompok kultur
dominan, baik secar intelektual maupun politis. Dengan tujuan menciptakan iklim yang
kondusif bagi penciptaan secara bersama-sama sebuah kultur kolektif baru yang egaliter
secara genuine. Jenis multikulturlisme ini, sebagai contoh, diperjuangkan masyarakat
kulit hitam di Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain.
Kelima, “Multikulturalisme kosmopolitan”, yakni berusaha menghapus batas-
batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat dimana setiap individu
tidak lagi terikat dan commited kepada budaya tertentu dan sebaliknya secara bebas
terlibat dalam eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan
kehidupan kultural masing-masing . para pendukung multikultaralisme jenis ini sebagian
besar adalah intelektual diasporik dan kelompok-kelompok liberal yang memiliki
kecenderungan postmodernist dimana memandang seluruh budaya sebagai resources
yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas.
9
Menurur Azyumardi Azra, Indonesia kelihatannya termasuk ke dalam
multikulturalisme kedua dan keempat. Di Indonesia, pada dasarnya terdapat kultur
dominan baik dalam konteks budaya, politik, etnis dan agama; tetapi pada dasarnya
kultur dominan memberikan akomodasi bagi kultur lain untuk mengekspresikan dirinya.
Juga terjadi proses interaksi yang cukup intens antara kultur dominan dengan kultur -
kultur lain, yang pada gilirannya memunculkan sebuah “supra cultur” yang sederhanya
dapat dinisbahkan kepada kultur Indonesia-kultur nation-state Indonesia (Azra 2007:16).
2.2. Organisasi Etnis
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, sehingga bangsa Indonesia
merupakan salah satu bangsa yang sangat kaya akan kebudayaan. Keragaman budaya,
bahasa, suku, ras dan agama yang dimiliki oleh bangsa ini bisa diamati dari wilayah
Sabang sampai Merauke dan bisa diamati melalui produk-produk budaya yang dihasilkan
oleh setiap suku bangsa di Indonesia. Masyarakat Indonesia juga bisa dikatakan sebagai
masyarakat yang pluralistik yang berasal dari kata “pluralisme ” (Soekanto, 1984 : 48).
Sebenarnya istilah ini pada awalnya lebih digunakan untuk menggambarkan suatu sistem
politik tertentu, yang diperlukan didalam negara yang kompleks untuk menerapkan
demokrasi, sebab dalam sistem demokrasi selalu ditandai dengan pembagian kekuasaan
untuk membuat kebijakan-kebijakan yang efektif antara golongan-golongan tertentu
dalam masyarakat , dengan maksud mengadakan kompetisi yang sehat. Namun seiring
berjalannya waktu, istilah tersebut dipergunakan dan diterapkan pada masyarakat –
masyarakat yang mencakup aneka ragam suku bangsa. Dan keaneka ragam suku bangsa
inilah yang disebut sebagai kelompok/ komunitas etnis (ethnic-group) yang masing-
masing mempunyai kebudayaan khusus (sub-culture). Suku bangsa itu sendiri merupakan
kesatuan-kesatuan manusia yang sangat terikat oleh kesadaran dan kesatuan sistem sosial
dan kebudayaan (yang selalu didukung oleh bahasa dan pola komunikasi tertentu dalam
komunitas–komunitas etnis dan suku bangsa tersebut).
J. Jones (dalam Liliweri 2007) mendefinisikan etnis atau sering disebut
Kelompok/ Komunitas etnis adalah sebuah himpunan manusia (sub kelompok manusia)
yang dipersatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur atau subkultur
tertentu, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa, bahkan peran dan fungsi
10
no reviews yet
Please Login to review.