Authentication
416x Tipe PDF Ukuran file 1.08 MB Source: erepo.unud.ac.id
BHINNEKA TUNGGAL IKA PENANDA
MULTIKULTURALISME: DARI KAKAWIN
SUTASOMA KE KONSTITUSI INDONESIA
GEDE MARHAENDRA WIJAATMAJA
SEMINAR NASIONAL DENGAN TEMA “SASTRA AGAMA DAN PENDIDIKAN
BAHASA” DISELENGGARAKAN OLEH PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
DENPASAR 7MARET 2018
Daftar Isi
Abstract
Pendahuluan.......................... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
Menempatpatkan Sudut Pandang tentang Multikulturalisme.....................2
Bhinneka Tunggal Ika dalam Kakawin Sutasoma 3Error! Bookmark not
defined.
Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Penanda Multikulturalisme dalam UUD
1945.............................................................................................................4
Penutup........................................................................................................6
Daftar Pustaka..................................................................................................6
i
ABSTRACT
Makalah ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman mengenai makna pepatah lama
Bhinneka Tunggal Ika dan transformasinya ke dalam kontitusi yang sekarang berlaku di
Indonesia yakni UUD 1945. Untuk itu digunakan metode interpretasi terhadap UUD 1945
berdasarkan penelusuran pustaka tentang konsep bhinneka tunggal ika dan pandangan teoritik
tentang multikulturalisme.
Hasil pembahasan adalah: pertama, bhinneka tunggal ika tidaklah sekedar cuplikan dari
suatu karya sastra pada zamannya, tapi pada dasarnya merupakan pernyataan daya kreatif untuk
mengatasi masalah keanekaragaman agama, dan pada zaman ini digunakan untuk
menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
kedua, dalam UUD 1945 terdapat dasar-dasar multikulturalisme baik di dalam Pembukaan
maupun dalam pasal-pasalnya, yang pada dasarnya memberikan pengakuan terhadap fakta
kemajemukan komunitas budaya.
Kata kunci: bhinneka tunggal ika, multikulturalisme.
PENDAHULUAN
Penanda adanya multikulturalisme dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) tampak pada Pasal
36A, “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal
Ika”. Pembentuk Undang-Undang memahami semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah
pepatah lama yang pernah dipakai oleh pujangga ternama Empu Tantular. Kata bhinneka
merupakan gabungan dua kata: bhinna dan ika diartikan berbeda-beda tetapi tetap satu
dan kata tunggal ika diartikan bahwa di antara puspa ragam bangsa Indonesia adalah satu
kesatuan. Semboyan ini digunakan menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.” (Penjelasan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan).
Dikemukakan oleh F. Budi Hardiman, “Bhinneka Tunggal Ika memuat idealitas
multikulturalisme di Indonesia” (Hardiman 2002).
Penjelasan tersebut mengesankan makna keanekaragaman (berbeda-beda) tetapi
tetap satu dalam kata Bhinneka, dan ada makna keanekaragaman (puspa ragam) tetapi
tetap satu (satu kesatuan) dalam kata tunggal ika. Ini menunjukkan ada ketidakjelasan
dalam memaknai bhinneka tunggal ika. Sebagai penanda multikulturalisme dalam UUD
1945, dalam Pasal 36A yang mengatur “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika” tidak ditemukan isi pengaturan tentang
multikulturalisme.
Beranjak dari persoalan tersebut, makalah ini bertujuan untuk memperoleh
pemahaman mengenai makna pepatah lama Bhinneka Tunggal Ika dan transformasinya
ke dalam kontitusi yang sekarang berlaku di Indonesia yakni UUD 1945. Untuk itu
1
digunakan metode interpretasi terhadap UUD 1945 berdasarkan penelusuran pustaka
tentang konsep bhinneka tunggal ika dan pandangan teoritik tentang multikulturalisme.
MENEMPATPATKAN SUDUT PANDANG TENTANG
MULTIKULTURALISME
Multikulturalisme berbeda dengan multikultural, namun terkait. Multikultural
mengacu pada kenyataan akan keanekaragaman kultural, dan multikulturalisme mengacu
pada sebuah tanggapan normatif atas fakta keanekaragaman budaya tersebut (Parekh
2008). Tanggapan normatif ini dapat ditemukan dalam kebijakan publik, dapat disebut
sebagai politik multikulturalisme, yang secara makro dirumuskan dalam Undang-
Undang Dasar.
Bhikhu Parekh mengemukakan, keanekaragaman budaya dalam masyarakat modern
memiliki beberapa bentuk. Tiga diantaranya yang paling umum adalah: pertama,
keanekaragaman subkultural (subcultural diversity), merujuk pada sekelompok anggota
masyarakat, yang meskipun hidup dalam budaya bersama, dalam arena-arena tertentu
kehidupannya menjalankan keyakinan dan praktek yang berbeda (seperti gay dan
lesbian), atau mengembangkan jalan hidupnya sendiri yang berbeda (seperti para
nelayan, para eksekutif transnasional dan para seniman): kedua, keanekaragaman
perspektif (perspectival diversity), merujuk pada sekelompok anggota masyarakat yang
sangat kritis terhadap prinsip-prinsip atau nilai-nila utama kebudayaan yang berlaku dan
berusaha untuk mengubahnya sesuai dengan garis kelompoknya; dan ketiga,
keanekaragaman komunal (communal diversity), merujuk pada komunitas-komunitas
yang kurang-lebih terorganisasi dengan baik, yang menjalankan dan hidup dengan sistem
dan praktek kepercayaannya sendiri. Mereka antara lain adalah berbagai komunitas
keagamaan, dan kelompok-kelompok kultural yang berkumpul secara teritorial seperti
masyarakat asli (Parekh 2008).
Diantara ketiga keanekaragaman budaya itu, keanekaragaman komunal (communal
diversity) memiliki keterkaitan historis bagi istilah “multikultural” dan
“multikulturalisme”. Komunitas-komunitas yang dalam ranah keanekaragaman budaya
itu selanjutnya disebut komunitas budaya (Parekh 2008).
Berdasarkan uraian tersebut, dalam makalah ini Multikulturalisme dipahami sebagai
tanggapan normatif atas fakta kemajemukan komunitas budaya. Juga dapat dipahami
sebagai politik multikulturalisme, yakni kebijakan dari negara untuk mengakui
2
no reviews yet
Please Login to review.