Authentication
178x Tipe DOC Ukuran file 0.17 MB Source: akademik.uhn.ac.id
VISI (2010) 18 (1) 98 – 112 Kinerja Produksi Kopi Arabika dan Prakiraan Sumbangannya dalam Pendapatan Wilayah Kabupaten Simalungun Jef Rudiantho Saragih ABSTRACT The study was aim to analyze of performance of Arabica coffee production in Simalungun sub district and how much the contribution to regional income. Data analyze with multiple regression by SPSS 17 and location quotient index. Performance of Simalungun Arabica coffee production from 1999 to 2008 was growth 18% per year, and productivity about 1,038 kg parchment, equivalent 350 kg green coffee per year. Enhancing of the land cultivation was one of the policy to increase of the Arabica coffee production. The municipality region which main supplier of the Arabica coffee and recommended is Silimakuta, Pamatang Silimahuta, Purba, Girsang Sipangan Bolon, Dolok Pardamean, Pamatang Sidamanik, Dolok Silau and Raya. Effect of domestic price is not significant to the production, but international price was given significant effect. Domestic price more fluctuated, meanwhile international price was stable and rise-up every year. Prediction of total employment in Arabica coffee farm gate is about 1.9 million with gross income about IDR 70.5 billion. Thus, contribution (production of green coffee and employment in farm gate) of the Arabica coffee to the gross regional income is about IDR 127.5 billion. ------------ Key words: performance, production, Arabica coffee, contribution, regional income I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kopi arabika merupakan salah satu komoditas yang diprioritaskan pengembangannya oleh pemerintah Indonesia saat ini. Ekspor kopi arabika dari Indonesia sebagian besar dipasarkan ke segmen pasar khusus (kopi spesialti) karena mutu citarasanya khas dan digemari oleh para penikmat kopi di negara- negara konsumen utama. Di segmen spesialti harga kopi lebih mahal dan fluktuasinya tidak terlalu tajam, yang tentunya berdampak pada pendapatan petani dan devisa negara (Wahyudi, 2008). Komoditas kopi di Indonesia menunjukkan kinerja yang cukup baik. Pangsa ekspor Indonesia mencapai 7% dari produksi kopi dunia tahun 2008. Dalam Produk Nasional Bruto (PNB), komoditas kopi memberikan sumbangan sebesar 0,6% dan merupakan 17% dari seluruh ekspor produk pertanian tahun 2008. Luas tanam mencapai 1,3 juta hektar dengan produksi sekitar 600.000 ton kopi hijau, dengan komposisi 85-90% kopi Robusta, 10-3% kopi Arabika, dan 1- 2% kopi Liberika. Luas tanam tersebut diusahai oleh 2,33 juta rumah tangga petani kecil dengan skala usaha rata-rata 1-1,5 hektar. Pendapatan petani dapat mencapai sekitar Rp 9 juta per ha per tahun (Robusta) dan Rp 19 juta per hektar 98 ____________ ISSN 0853-0203 VISI (2010) 18 (1) 98 – 112 per tahun untuk kopi Arabika (Ottaway, 2007). Sementara menurut Anderson (2008), luas lahan kopi arabika di Indonesia pada tahun 2006 mencapai 101.868 hektar dengan produksi 61.351 ton kopi biji dan produktivitas 602 kg per hektar per tahun. Produksi tersebut memberikan nilai ekspor sebesar US$ 136,3 miliar. Pada tahun 2009 (Anonim, 2009), produksi kopi Indonesia mencapai 689 ribu ton yang terdiri dari 81% kopi robusta dan 19% kopi arabika. Usahatani kopi di Sumatera Utara tersebar di 10 wilayah kabupaten di dataran tinggi sekitar Danau Toba. Namun, wilayah produsen utama berada di Tapanuli Utara, Dairi, Simalungun, Karo, Humbang Hasundutan dan Samosir. Diperkirakan terdapat lebih dari 97.000 keluarga petani yang menggeluti usahatani kopi di Sumatera Utara, mulai dari sebagai usahatani utama, main activity (100% pendapatan berasal dari kopi) sampai usaha sampingan (side activity) dengan intensitas usahatani yang rendah. Meskipun potensi pasar kopi global khusus terbuka luas; sangat sedikit petani kopi di Sumatera Utara yang mampu memanfaatkan potensi tersebut. Beberapa kendala yang dihadapi adalah ketidakmampuan untuk meningkatkan produktivitas usahatani dan kendala teknis dan manajemen yang dihadapi petani untuk memenuhi standar perusahaan dan pasar internasional. Sebagian petani merupakan pendatang baru dalam usahatani kopi dan sangat terbatas dalam pengetahuan teknis, kurang dalam pengalaman praktis dalam pertanaman kopi termasuk pemeliharaan tanaman dan manajemen praktis usahatani. Masalah lain adalah tidak tersedia dan tidak efektifnya peran penyuluhan. Keberlanjutan suplai kopi ke pasar sangat ditentukan oleh keberlanjutan produksi di lapangan. Produksi kopi di lapangan umumnya dilakukan oleh petani yang memiliki pengetahuan dan kemampuan terbatas, sehingga pemahaman keberlanjutan usahatani di lapangan perlu dipahami oleh para petani. Upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pelatihan dan sekolah lapang. Usahatani kopi yang berkelanjutan mampu mengelola sumber daya untuk keberhasilan produksi, mempertahankan kualitas lingkungan dan melestarikan lahan. Ciri usahatani kopi yang berkelanjutan adalah mantap secara ekologis, bisa berlanjut secara ekonomis, dan luwes terhadap dinamika lingkungan strategisnya (Pujiyanto, 2007). Penelitian ini hendak mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja produksi kopi arabika pada tingkat usahatani di Kabupaten Simalungun. Selanjutnya dianalisis dampak komoditas kopi terhadap perekonomian wilayah seperti pertumbuhan areal tanam, pertumbuhan produksi, pertumbuhan pendapatan wilayah, pangsa komoditas kopi, dan potensi penyerapan tenaga kerja. B. Perumusan Masalah Kerangka teoritis dalam menganalisis faktor-faktor penentu kinerja produksi kopi arabika dalam penelitian ini merujuk kepada asumsi bahwa utama sasaran semua usahatani adalah memaksimumkan pendapatan (Debertin, 1986). Pendapatan usahatani tersebut diperoleh melalui proses produksi yang merupakan transformasi input-input menjadi output. Doll dan Orazem (1984) menyatakan bahwa proses produksi berkaitan dengan metode produksi. Suatu produk 99 ____________ ISSN 0853-0203 VISI (2010) 18 (1) 98 – 112 pertanian dapat dihasilkan dengan berbagai cara. Asumsi umum yang berlaku adalah petani atau manager usahatani menggunakan proses produksi yang paling efisien, yaitu proses yang menghasilkan output tertinggi dari sejumlah input. Metode produksi yang digunakan sering disebut sebagai “level of technology” atau “the state of the arts”. Penelitian usahatani umumnya bersifat penelitian terapan, dan bertujuan untuk satu atau kedua hal berikut: (1) Menyediakan informasi yang dapat membantu petani dalam mengelola usahataninya untuk mencapai tujuan tertentu, dan (2) Memberikan informasi kepada pemerintah mengenai petani dan pengelolaan usahataninya sehingga membantu dalam perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan yang lebih baik (Soekartawi et al., 1986). Suatu penelitian umumnya dapat menjawab dua pertanyaan mendasar mengenai permasalahan yang ada. Pertanyaan tersebut adalah: (1) Mengapa suatu hal kondisinya seperti yang terjadi sekarang (existing conditions)?, dan (2) Bagaimana caranya agar kondisi tersebut dapat berubah ke arah yang lebih baik (expecting conditions). Penelitian ini ingin memberikan informasi awal dan kondisi produksi kopi arabika saat ini dikaitkan dengan dua pertanyaan tersebut. Petani kopi di Indonesia pada umumnya merupakan petani kecil dengan luas areal rata-rata 0,5-2 ha. Petani umumnya tergabung dalam kelompok tani yang belum berdaya, pengetahuan dan teknologi terbatas serta prasarana dan sarana usahatani masih minim. Bahkan, masih ada kebun kopi petani yang berada di wilayah terisolir dan belum memiliki akses jalan yang memadai (Mawardi, 2008a). Dari sisi pemasaran, harga kopi dipengaruhi oleh beberapa hal: (1) perkembangan produksi Brasil dan Vietnam sebagai produsen utama, (2) jenis kopi (arabika atau robusta), dan (3) kualitas produk kopi. Kopi arabika Indonesia sudah lama dikenal di pasar internasional dengan citarasa terbaik di dunia. Karena memiliki kekhusuan dalam iklim mikro, varietas, dan pengolahan, produk kopi arabika Indonesia memiliki potensi sebagai kopi berkualitas tinggi, termasuk kopi asal Simalungun. Perumusan masalah penelitian dimulai dengan pertanyaan bagaimana kinerja produksi kopi arabika di Kabupaten Simalungun dan apa faktor-faktor penentu kinerja tersebut. Sepuluh tahun terakhir telah terjadi peningkatan luas areal kopi di Kabupaten Simalungun, terutama di beberapa kecamatan di wilayah dataran tinggi Simalungun. Selanjutnya, masalah penelitian dilanjutkan dengan pertanyaan, bagaimana dampak komoditas kopi bagi perekonomian wilayah di Kabupaten Simalungun. Luas areal perkebunan kopi rakyat mencapai 6.225 hektar di tahun 2009 dengan jumlah produksi 6.461 ton (produktivitas 1.038 kg/ha/tahun). Jumlah petani yang mengusahai lahan tersebut adalah 15.460 rumah tangga. Terdapat lima sentra utama kopi arabika di Simalungun, yaitu Kecamatan Silimakuta (termasuk kecamatan pemekarannya: Pamatang Silimahuta), Purba, Dolok Pardamean, Raya, dan Dolok Silau. Kelima sentra produksi tersebut memasok sekitar 80% kopi arabika dari produksi total kopi arabika Kabupaten Simalungun (Disbun Simalungun, 2009). Komoditas kopi merupakan salah satu komoditas 100 ____________ ISSN 0853-0203 VISI (2010) 18 (1) 98 – 112 unggulan sub sektor perkebunan di Simalungun, selain kelapa sawit, kakao, dan karet. Akhir-akhir ini, komoditas kopi arabika (varietas Sigalar Utang) menjadi primadona bagi petani di dataran tinggi Simalungun. Rumusan utama dan solusi masalah dalam penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian (research questions) berikut: (1) Bagaimana keragaan (kinerja) produksi kopi di Kabupaten Simalungun saat ini? (2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja produksi kopi arabika di Kabupaten Simalungun? (3) Bagaimana sumbangan kopi arabika bagi pendapatan wilayah di Kabupaten Simalungun? C. Tinjauan Pustaka Tanaman kopi dibawa oleh Belanda ke Indonesia (dulu Batavia) pada tahun 1696. Setelahnya, Pulau Jawa menjadi pemasok utama kopi ke kawasan Eropa. Sepanjang 312 tahun terakhir, Jawa dan Sumatra telah menjadi identik dengan kopi bercitarasa tinggi, sebab interaksi iklim, jenis tanah, varietas dan metode pengolahan membuat kopi Indonesia menjadi kopi yang paling menarik dan diminati di dunia (AKSI). Saat ini, Indonesia menjadi produsen kopi terbesar keempat di dunia setelah Brasil, Vietnam dan Colombia; dengan volume ekspor lebih dari 300 ribu ton (dari produksi total 676 ribu ton) pada tahun 2007. Dari jumlah tersebut, sekitar 75.000 ton adalah kopi arabika dari Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, Flores, dan Papua. Produksi tersebut dihasilkan dari areal kopi seluas hampir 1,3 juta hektar, yang terdiri dari TM (tanaman menghasilkan) 75%, dan sisanya TBM dan tanaman tua. Dari luas areal dimaksud, hampir seluruhnya (96%) merupakan perkebunan rakyat, sisanya perkebunan negara (2%) dan perkebunan swasta (2%). Sumatera menghasilkan 70% produksi kopi nasional dengan sentra produksi: Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Sumatera Utara dan NAD. Kopi merupakan mata pencaharian utama bagi sekitar 1,6 juta rumah tangga petani dimana 96% merupakan petani kecil dengan luas lahan kurang dari satu hektar dengan berbagai keterbatasannya (Ditjen Perkebunan, 2008; Mawardi, 2008a). Produktivitas perkebunan kopi rakyat di Indonesia hanya mencapai 525 kg/hektar. Produktivitas ini jauh lebih rendah dari negara pesaing Vietnam yang mencapai 3-4 ton/hektar (Herman, 2003). Produktivitas yang lebih tinggi di Vietnam diperoleh petani karena didukung kebijakan pemerintahnya untuk membantu petani. Kebijakan yang diambil antara lain: (1) menyediakan kredit lunak dengan bunga 6-7,2%/tahun, (2) memberikan dana kompensasi pengganti investasi bagi petani yang mengkonversi kopi robusta ke kopi arabika, (3) membebaskan petani kopi dari pajak dan cicilan kredit pada tahun 2000-2003, (4) membebaskan eksportir kopi dari pajak dan pungutan hingga tahun 2004, dan (5) mengijinkan eksportir memasarkan kopi langsung ke pembeli di laur negeri tanpa pungutan di pelabuhan (Herman, 2002 dalam Herman, 2003). 101 ____________ ISSN 0853-0203
no reviews yet
Please Login to review.